Mimpi: Rumah sakit dan Bapak Walikota
Malam ini mimpi saya cukup fenomenal. Beruntung saya masih ingat beberapa alur, sehingga tampak membentuk cerita fiksi yang sedikit aneh tapi memiliki sebuah keinginan yang realistis di dunia nyata. Mungkin karena tuntutan dari buku Psikoanalisis karya Sigmund Freud yang saya baca.
Waktu itu saya sedang di rumah. Tepatnya berada di ruang tengah. Ada kasur yang telah dilipat. Ada adik laki-laki saya yang sedang menyapu, tanpa merapikan kasur, hanya membersihkan di sekekliling ruangan tanpa menghiraukan benda bulat tersebut. Ada ayah saya yang sedang menunjuk-nunjuk ke arah lantai. Sepertinya memerintahkan beberapa bagian yang perlu segera dibersihkan oleh adik saya. Saya lalu berinisiatif untuk pergi ke kamar tidur. Di sana tak ada kasur. Hanya ada tembikar berwarna hijau kecoklatan. Saya merebahkan diri. Tiba-tiba ada seseorang datang ke rumah dan duduk di depan televisi. Kasurnya sudah lenyap. Mungkin sudah dibereskan oleh adik saya. Saya kembali ke kamar dan melihat keluar melalui jendela kamar. Tiba-tiba ada seseorang yang memeluk saya dari belakang.
Dia mengatakan, “Saya kangen. Kemana saja?” Ketika saya hendak melihat dia, adik saya memanggil nama saya. Dan si makhluk misterus itu hilang. Saya hanya melihat adik saya berjalan mengampiri saya. Dia mengatakan bahwa Ayah perlu diantar ke rumah sakit.
Yang saya ingat bahwa saya sudah berada di rumah sakit. Entah dengan teleportasi. Atau kekuatan perpindahan raung dan waktu dalam mimpi. Entah. Ajaib. Itulah mimpi. Saya melihat kakek saya yang terbaring lemas di bangsal ekonomi. Kerumunan orang lalu lalang di koridor rumah sakit membuat saya bingung. Akhirnya saya mendengar sesuatu dari percakapan antara Ibu saya dan sang dokter.
“Bu, tampaknya Bapak ini harus segera dioperasi. Mudah2an bisa teratasi dengan cepat.”
Ibu saya hanya bisa mengangguk. Tapi tampak tidak khawatir. Tampak tenang.
Tiba-tiba ada beberapa orang, lebih tepatnya wajah-wajah warga sekitar lingkungan saya, yang dengan terburu-buru mendorong “kasur dorong” dengan infuse. Saya terheran-heran. Kemudian dilanjutkan dengan beberapa tetangga lainnya yang melakukan hal yang serupa. Ada yang, sekilas, wajah si pasien bermuka merah seperti diserang tawon. Ada yang hanya ditutup dengan selimut. Ada yang ditutup dengan kain kafan, yang tandanya sudah meninggal sehingga setiap orang yang melihatnya akan mengucapkan innalillahi wainna ilaihi raji’un.
Saya melihat ayah saya menangis.
Ibu mengatakan, dan memang tampaknya baru menyadari bahwa mereka tadi adalah tetangga kami. “Kayak warga Ampera di deket rumah, ya?”
Bapak merespon dengan penuh kasih, “Iya. Bapak ke ruang UGD dulu ya. Ingin lihat keadaan mereka.” Ibu pun mengikuti ayah dan meninggalkan saya tanpa konfirmasi. Tapi biarlah. Saya pun hanya merasa kasihan.
Tiba-tiba, lagi, ada Bu De saya yang tampak ngos-ngosan sambil membawa telepon genggam, meminta saya untuk mengangkat telepon. Aneh nya kenapa harus Bu De saya. Padahal kami jarang sekali bertemu. Akhirnya saya raih dan langsung memulai perbincangan.
“Halo? Maaf, ini dengan siapa?”
“Ini saya. Pak Dada Rosada. Maksud kamu yang ‘mau jadi PNS tapi honornya harus bisa lebih dari yang di perusahaan yang saya sedang geluti’ itu apa?”
“Oh, itu pak.” Saya tampak sudah paham. “Jadi begini. Ya, bapak tahu lah bahwa saya sudah professional mengajar di perusahaan saat ini dengan honor yang cukup memuaskan. Sekarang apabila bapak meminta saya jadi PNS di Bandung, tentunya honornya pun harus disesuaikan. Saya rasa bapak memahaminya.”
Tetapi sambungan putus. “Ah, Sial! Padahal sudah oke tuh.” Saya berpikir.
Saya coba hubungi lagi. Tetapi nomornya sibuk. Saya berpikir bahwa si Bapak Walikota Bandung tadi mencoba melakukan hal yang sama. Tapi bentrok dengan apa yang saya coba lakukan.
Saya menunggu beberapa saat. Dan ketika saya mencoba menghubunginya lagi, ternyata telepon saya sudah berdering lebih dahulu.
“Tadi tuh bilang apa saya gak dengar?” sesaat lalu terdengar suara gak jelas dari arah telepon. Mungkin sinyalnya. Saya cari tempat yang lebih tinggi dan menjauh dari bangunan rumah sakit. Tapi suaranya masih putus-putus.
“Halo, Pak? Halo…”
“Iya Halo. Sudah terdengar suara saya?” Beliau berkata
“Iya, Pak, sudah. Jadi bagaimana pak? Saya harus mengirimkan lamaran saya kembali atau langsung datang menemui Bapak di Bandung?”
Suaranya kembali putus-putus. Tidak jelas.
“Sebentar, nama kamu tadi siapa? Saya lupa?”
“Nama saya Achdi, Pak. Achdi Merdianto.”
Lalu hubungan telepon kembali terputus.
Akhirnya saya mencari earphone saya. Saya menemukannya tergantung di leher saya. Anehnya, yang menggantung tidak hanya earphone, tapi juga ada speaker aktif yang kabelnya semrawut. Saya berusaha merapikan kembali supaya tidak semrawut tetapi telepon genggam saya sudah berdering lagi. Dengan bersusah payah, saya coba memasang earphone itu di telinga saya meskipun harus sedikit menunduk karena tidak bisa merapikannya. Ibu saya pun menghampiri. Dan saya memintanya untuk menunggu sebentar karena urusan saya dengan pak walikota sedang dalam masa “kritis”.
“Kamu tuh tadi ngomong apa saya gak denger.”
“Begini saja, Pak. Saya sms kan saja atau kirim lewat Email supaya semuanya jelas, bagaimana?’
Tapi sambungan sudah terputus.
Saya menyerah dan mengahampiri ibu.
“Jadi bagaimana kabarnya tetangga kita?”
“ya, kebanyakan kritis dan meninggal karena tersedak.”
“Koq bisa?” saya terheran-heran.
“Gak tau atuh.”
~ ~ ~ ~ ~
Sisanya saya tidak ingat karena dibangunkan untuk sahur.
Sukabumi, 28 Agustus 2010
04.15 WIB
No comments:
Silahkan tinggalkan pesan atau komentar yang membangun untuk penulisan/karya yang lebih baik. Terima kasih.