Mari Mampir!

Selamat datang di blog saya. Selamat menikmati menu beragam yang akan mengisi dahaga mu akan ilmu dan rasa lapar mu akan cerita tentang hidup. Jangan dulu meninggalkan meja makan ku sebelum kamu kenyang dan siap melangkah lagi. Salam kebajikan.
Breaking News
recent

Bodo Amat! Buat Saya Ini!

 


Melihat judul bukunya “Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat” tampaknya membuat hati saya tergelitik untuk segera mengetahui bagaimana caranya bisa mengaplikasikan ilmunya di dunia nyata, terutama di dunia kerja.

Memangnya ada apa?

Dalam beberapa tahun terakhir, saya selalu merasa bahwa karyawan yang bekerja dengan sungguh-sungguh untuk dapat memajukan institusi dan berusaha mengembangkan diri agar dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat semakin menurun. Sebut saja, kepanitiaan kegiatan selalu dikuasai oleh orang-orang yang sama, yang dirasa dipercaya oleh atasan. Ketika kami, saya salah satunya, mempertanyakan tentang kesempatan karyawan lain untuk dapat berkontribusi, mereka biasanya menjawab, “Tolong lah, kami ingin kegiatan ini sukses. Tidak ada waktu lagi!” atau “Kami sudah memberikan kesempatan kepada mereka, tapi tampaknya mereka tidak mampu maksimal untuk kegiatan semacam ini.”

Dalam satu atau dua hal, saya bisa saja setuju dengan pendapat mereka. Tetapi, sampai kapan mereka dibiarkan nyaman seperti itu? Sedangkan kami, yang disebut, Lu Lagi Lu Lagi (4L), selalu diberikan resiko setiap tahunnya agar dapat dievaluasi. Mereka? Tentu saja tidak.

Mereka dengan nyaman pulang sesuai dengan jam kerja. Tanpa beban tugas tambahan dan pertemuan-pertemuan mendadak di akhir pekan.

Oleh karenanya, saya sungguh berharap bisa mendapatkan ilmu dari buku karya Mark Manson ini, yang tentunya sedang saya butuhkan, agar kelak nanti, mampu berkata TIDAK untuk menerima pekerjaan tambahan di luar kewajiban saya sebagai seorang karyawan, agar dapat memberikan kesempatan kepada karyawan lain untuk berkontribusi juga.

Cukup tiga hari untuk menyelesaikan buku bacaan serius - yang saya pikir bisa memerlukan minimal tiga minggu untuk mencernanya. Ternyata bukunya cukup sederhana dan mudah dipahami. Buku ini tidak saya beli, melainkan saya peroleh dari hadiah komunitas guru Bernama Kelas Kreatif Indonesia di salah satu webinarnya. Buku yang saya peroleh sudah bentuk terjemahan, sehingga ketika saya baca agak aneh. Ya, saya selalu merasa kurang terlalu sreg ketika buku berbahasa Inggris diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ada rasa yang hilang dan cenderung dipaksakan. Tetapi secara keseluruhan, inti dari apa yang dibahas dan dikomunikasikan di dalam bukunya tersampaikan dengan jelas. Ini hanya masalah pribadi saya saja - soal rasa.

Selama menikmati buku, saya menemukan beberapa isu yang menarik perhatian saya, diantaranya adalah: romansa, tanggung jawab, pengaruh manusia, rasa syukur, penerimaan, dan pemahaman akan diri kita serta lingkungan.

Sejujurnya dibandingkan dengan apa yang tadinya saya butuhkan untuk mendukung pembuatan keputusan saya di tempat kerja, malah saya lebih mendapat banyak masukan tentang hubungan manusia, terutama romansa. Pikiran-pikran Manson yang membuat saya merenung kembali adalah tentang bagaimana pengaruh masa lalu pada hubungan percintaan saya.

Trauma saya membelit seputar isu keintiman dan penerimaan, jadi saya merasa ada kebutuhan untuk mendapatkan kasih sayang secara berlebihan, untuk membuktikan pada diri saya sendiri, bahwa saya memang dicintai dan diterima setiap waktu (halaman 63).

Pernyataan ini seperti membuka kembali memori saya di masa kecil hingga remaja. Saya mempertanyakan kepada diri saya kembali akhirnya, apakah saya memang menginginkan kasih sayang lebih, bahkan berlebih? Apa hal tersebut dampak dari cara penerimaan orang-orang, lingkungan, bahkan keluarga tentang diri saya di masa lalu?

Kita tidak bisa selalu mengambil kendali terhadap apa yang terjadi pada kita. Namun kita selalu bisa mengendalikan cara kita menafsirkan segala hal yang menimpa kita dan cara kita merespon (halaman 111).

Di halaman ini, Manson memberikan solusi agar semua yang menjadi trauma di masa lalu menjadi pelajaran. Yang terpenting adalah bagaimana saya mampu menerima rasa sakit tersebut dan mengendalikan emosi yang muncul dari masalah-masalah yang saya anggap tidak pernah selesai. Secara tidak langsung, Ronson, menyarankan saya agar berdamai dengan masa lalu, agar emosi yang terakumulasi, tidak seperi bola salju yang menghancurkan. You know what? I am still working on it.

Kemudian dia memberikan beberapa contoh yang menarik ketika sudah masuk ke ranah hubungan dengan pasangan, dimana konsep mencintai selalu disalahartikan dengan konsep saling memperbaiki. Seperti lagu yang dilantunkan Coldplay, Fix you. Manson sangat tidak merekomendasikan hal ini.

Tanda dari sebuah hubungan yang tidak sehat adalah dua orang yang mencoba memecahkan masalah orang lain agar diri mereka sendiri merasa baik. Sebaliknya, sebuah hubungan dikatakan sehat ketika dua orang memecahkan masalah mereka sendiri agar keduanya merasa baik (halaman 206).

Karena mereka percaya bahwa jika mereka memperbaiki pasangan mereka dan menyelamatkannya, mereka akan menerima cinta dan apresiasi yang selama ini mereka dambakan (halaman 206-207).

Dari sudut pandang Ronson, yang cenderung ingin menguatkan bahwa manusia pada dasarnya harus belajar untuk mampu berjuang untuk hak hidup dia, termasuk di dalamnya adalah masalah yang akan membuatnya semakin kuat dan cerdas; sebagai salah satu faktor yang membuat manusia tetap bertahan hidup.

Tanpa mengerdilkan konsep social being, saya yakin Manson hanya ingin menekankan bahwa manusia secara individu memiliki akal untuk menyelesaikan masalah mereka masing-masing. Jika perlu, secara sosial, manusia lainnya dapat membantu untuk keberlangsungan hidup yang berkelanjutan.

Yang menjadi masalah adalah jika satu pasangan manusia selalu membantu untuk membuat mereka sendiri merasa baik, seperti seorang ksatria yang heroik, dengan mengharapkan sebuah hadiah perasaan - cinta tambahan, karena dirasa sudah berkorban. Maka itu yang tidak dibenarkan. Sederhananya adalah, ketika kamu ingin melakukan kebaikan karena didorong oleh keikhlasan dan kemanusiaan; bukan karena akhirnya nanti ada balas budi yang harus dikembalikan pada waktunya. 

Mungkin kamu akan menolak mentah-mentah apa yang saya simpulkan, tetapi pada kenyataanya IYA. Hakikatnya manusia secara wajar melakukan itu, tetapi hal tersebut menjadi yang tidak sehat dalam sebuah hubungan sosial, bukan hanya romansa.

Apakah saya mampu? Saya belum tahu. Saya sedang mencoba mengaplikasikannya meskipun bingung harus mulai dari mana. Minimal saya memahami konsep dasar yang bisa diterapkan nantinya.

Satu hal terakhir yang saya pelajari dari buku ini adalah tentang ambisi saya untuk selalu belajar hal-hal baru, seperti: belajar Bahasa Jerman dengan Duolingo, belajar aplikasi pembelajaran terkini yang seru, permainan-permainan yang bisa saya mainkan dengan siswa di kelas, pendekatan materi tertentu di dalam kurikulum yang bermakna, hingga bentuk pengembangan diri untuk tetap termotivasi dalam berkarya. Mungkin teman-teman di lingkungan kerja saya kadang mengolok saya sebagai si ambisius. Iya, saya tampak ambisius dengan beberapa tawaran, seperti: kursus Bahasa Jerman gratis di Goethe Institute dan mendaftarkan diri untuk dapat kursus gratis Bahasa Inggris di SEAMEO QTEP (Saya gagal tahun kemarin, entah karena apa, saya coba lagi tahun sekarang, semoga saja lulus).

Ada beberapa tulisan yang membuat saya berkontemplasi tentang apa yang saya lakukan dengan ambisi saya (untuk bisa lebih bayak tahu tentang banyak hal), seperti:

Mereka menjadi luar biasa karena mereka terobsesi dengan perbaikan … anti-istimewa. Mereka golongan biasa saja … mereka bisa menjadi jauh lebih baik (halaman 72).

Tampaknya memang saya berambisi untuk memperbaiki diri saya agar tidak tampak banyak banyak-ga-bisanya. Saya bukan ingin terlihat pandai, tetapi saya hanya tidak ingin ketinggalan banyak hal. Saya ingin memberikan pengalaman belajar yang nyata kepada siswa saya di kelas. Tentunya, saya pun berharap tetap bisa bersaing jika nanti saya tidak lagi di institusi saya berada saat ini. You'll never know, right? Karena saya semakin menua. Saya tahun ini 38. Sedangkan usia di pekerjaan baru biasanya membutuhkan anak-anak muda segar yang penuh semangat. Saya masih bersemangat. Tapi belum tentu mereka memahami hingga sedalam itu. Yang mereka tahu adalah usia saya sudah tidak qualified.

Anda akan mampu mengapresiasi pengalaman-pengalaman sederhana di hidup anda: nikmatnya pertemanan yang simple, menciptakan sesuatu, membantu seseorang yang membutuhkan, membaca buku tugas, tertawa Bersama seseorang yang anda sayangi. Itu lah yang benar-benar berarti (halaman 73).

Dalam prosesnya, beberapa tahun terakhir ini, terutama semenjak Covid-19 merebak di seluruh dunia dan merubah banyak hal, terutama pendapatan saya – saya menjadi lebih memiliki waktu untuk berolahraga, menulis, membaca, menonton film, dan belajar banyak hal baru. Itu adalah anugerah yang harus saya syukuri. Dan ya, buku ini membuat saya untuk berpikir kembali apakah saya sudah bersyukur.

Orang-orang yang mendasarkan penghargaan diri mereka pada ambisi untuk selalu benar, menghalangi diri mereka sendiri untuk bisa belajar dari kesalahan itu sendiri. Mereka menjadi kurang mampu untuk mengambil satu sudut pandang baru dan berempati terhadap orang lain. Mereka menutup diri mereka sendiri terhadap informasi yang baru dan penting (halaman 98).

Dari pernyataan terakhir ini saya menyadari bahwa saya berambisi tidak dalam konteks yang disebutkan oleh Ronson, melainkan untuk memperbaiki kekurangan saya tanpa perlu mendiskreditkan diri saya sendiri. This sounds a disclaimer but yeah! Saya belajar lagi karena saya membutuhkan ilmu dan pengalaman, bukan penerimaan atau popularitas.

Bodo amat lah apa kata orang! Yang penting saya berproses untuk kepuasan saya sendiri toh. 

No comments:

Silahkan tinggalkan pesan atau komentar yang membangun untuk penulisan/karya yang lebih baik. Terima kasih.

Powered by Blogger.