di Samudera
Satu samudera yang berada jauh di tengah bumi, ku inginkan tuk meraih mu dan tenggelam menuju dalam nya hamparan pasir hitam mu. Aku bisa merenung di sana, dengan hanya satu atau dua lampu ikan lentera. Cukup temaram, tak perlu terlalu berbinar. Akan ku tuliskan dengan penuh susah payah semua tanya ku, agar ombak langsung membawanya ke pesisir pantai dan menuju Mu. Lalu engkau akan membacanya di bawah terik matahari, di sekitar nyiur dan umang yang berlarian pelan. Malu-malu, kepiting putih bersembunyi di dalam pasir, mencari celah mengintip pesan ku.
"Di sini cukup gelap. Aku tak terlalu mengerti mengapa aku bisa berada di sini dan menuliskan semua pesan-pesan rindu ku, gelisah ku, serta mau ku. Kau sungguh beruntung! Karena matahari ada di atas kepala mu, membanjiri ubun-ubun mu dengan minyak dan keringat mu. Disetubuhi oleh angin-angin anyir dari ikan mati karena polusi, serta nyanyian kerang kering yang terdampar di bongkahan karang. Yang mampu ku dengar di sini hanya luapan sepi dari ikan-ikan yang kesepian, desakan ombak tenang dari dua arah, serta tak ada ingin, hanya dingin. Tetapi, sungguh pun aku masih beruntung, tanpa menggigit dan ingin menyantap ku, dua ikan lentera ini menemani ku, membantu ku mencari lahan pasir yang akan memudahkan ku untuk menuliskan pesan ini tanpa menghancurkannya. Aku rasa mereka tahu sulit ku. Mereka penyelamat ku. Kau tahu kan bahwa aku masih belum mengerti mengapa aku bisa berada di sini. Seperti sebuah palung di dekat pulau Maluku. Mungkin bahkan di segitiga bermuda. Aku tak tahu. Aku hanya mampu melihat gigi-gigi tajam dua ikan manis ini, dengan satu lentera ajaib di atas kepalanya, dan rasa sakit di telinga ku."
Kau berpikir sejenak. Memicingkan mata, melipat sedikit bibir mu, dan tak mempercayai ku.
"Aku mendengar sekarang engkau telah berbahagia di daratan sana. Bertemu dengan penduduk desa, yang telah dipilih oleh tetua-tetua mu. Oleh nasib mu. Oleh semua rasa manusia mu. Oleh norma-norma budaya mu. Serta oleh tanggung jawab mu. Dan itu bukan pada ku."
Kau sedikit malu. Ingin segera menyelesaikan pesan ku.
"Jangan takut dulu. Jujur, aku memang cemburu. Mendengar mu berbagi cerita. Seperti waktu kita dulu. Tetapi aku perlu mengikhlaskan mu karena waktu ku melepaskan mu, aku diam termangu. Menyesali mengenal mu. Sempat berkenalan dengan rasa bahagia mu. Dan membuat rencana dari mimpi-mimpi ku."
Kau menutup mata mu. Lalu duduk di hamparan pasir putih, melepas pegal di kaki satu. Kau tampak sedikit membendung kelabu.
"Apa kau masih mencintai ku?"
Aku yakin engkau membenci pertanyaan ku.
"Aku terkadang senang bermain dengan perasaan ku sendiri. Rasa sakit ku, ingin sebenarnya aku sesali. Engkau, aku yakin, tak tahan dengan sakit ku. Ingin segera engkau memeluk ku dan memiliku lagi. Tapi nasib mu tak memudahkan mu untuk memilih. Kau memang harus pergi. Karena tak mungkin engku berlari ke arah laut dan berenang mengejar ku. Kaki mu tak cukup kuat untuk mengayuh di lautan, bahkan hingga menyelam di sini bersama ku. Terlalu gelap. Aku pun tak akan tega mengajak mu hidup bersama di sini."
"Hey, jangan menangis seperti itu. Itu semua keputusan mu. Engkau yang menyerah dahulu, bukan aku. Jangan merindu seperti itu. Mungkin beberapa tahun lagi, aku akan muncul ke daratan, menuju pulau mu, dan mengunjungi hasil usaha mu melupakan ku. Aku tak akan menunjukan rindu ku, aku berjanji. Aku hanya akan melihat mu dari jauh, di balik semak belukar berduri yang sengaja akan kau tanam. Agar mencegah ku berlari ke arah mu. Engkau begitu tahu nekat ku."
Sungguh, aku merasa pilu. Melepas mu, tak semudah mengikhlaskan mu. Hanya perlu waktu, ku asumsikan begitu. Aku sangat membutuhkan terapi hati agar tak terlalu menganggu masa-masa ku bersama dunia. Karena nyawa ku hanya satu.
Kekasih ku yang dulu, aku mau aku keliru. Bahwa aku masih menginginkan mu. Bahwa aku merindukan mu.
Bahwa aku membenci ketika aku telah sangat bergantung pada mu.
Waktu, bantu aku lepas kan mu.
No comments:
Silahkan tinggalkan pesan atau komentar yang membangun untuk penulisan/karya yang lebih baik. Terima kasih.