TAK PERLU HUJAN DI PANTAI
Peluh ku masih saja menembus dua
lapisan kaus yang ku kenakan tadi malam. Apakah pertanda hujan akan segera turun
atau hanya suhu normal di perbatasan antara kota Bogor dan kota Depok saja? Adzan
isya sudah berkumandang tiga puluh menit yang lalu dan perut ku sudah keroncongan.
Terakhir kali aku menyuapinya dengan satu porsi mie bakso ditambah dengan satu
sendok besar nasi merah yang dicampur dengan nasi putih agar menambah serat
untuk pencernaan ku yang akhir-akhir ini menunjukkan gejala yang kurang baik.
Hal yang selalu menyulitkan ku
ketika perut sudah bernyanyi fals dan aku tidak tahu ingin menyantap kuliner
apa yang akan cukup membuat ku menggagalkan rongrongan makhluk-makhluk tak
kasat mata di saluran duodenum ku.
Lalu ku buka twitter di Blackberry ku dan ada satu makanan khas
Indonesia yang sudah hampir tiga bulan lamanya tidak ku sentuh. Sate. Aku mulai
tergiur dan memutuskan untuk mencari beberapa tusuk sate ayam atau mungkin kambing.
Di perjalanan, rintikan hujan
halus jatuh di atas kepala ku. Tetapi suara geludug belum terdengar. Hanya
desahan angin malam yang menyentuh pipi dan menarik lembut rambut tipis ku.
Sesekali ku lihat langit hitam di atas, tak ada cahaya yang muncul di balik
awan. Tetapi tak ada bintang yang tampak, hanya hitam dan gelap. Aku pikir,
sebaiknya aku segera menemukan satu kedai sate Madura yang biasanya dijual di
roda-roda di sepanjang jalan menuju pasar Parung.
Asapnya tampak dari kejauhan.
Seperti kabut di pagi hari. Begitu tebal tetapi menggiurkan. Lalu aku pesan 5
tusuk sate ayam dan 5 tusuk lagi sate kambing. Tanpa sambal. Sembari menunggu,
aku meminta izin untuk membeli beberapa bungkus makanan kecil dan mie instan di
toko sebelah. Aku tertarik dengan promo mereka yang menjual mie instan dengan
harga miring. Tetapi aku sedikit tertipu, karena aku harus membeli rasa yang
sama agar mendapatkan harga yang miring itu. Dan terpaksa aku harus membayar
dengan harga normal. Sebenarnya bisa saja aku menggantinya dengan rasa yang
sama, tetapi aku terlalu gengsi untuk menukarnya.
Lalu hujan pun riak semalam.
Aku belum bisa memejamkan mata
dan menikmati dunia bawah sadar. Karena tadi siang aku sudah puas tidur
seharian.
Tetesan hujan tak terasa riak
lagi jika dibandingkan dengan dentuman langit yang berdebum keras di balik
awan. Tiba-tiba aku teringat pada satu pesan ku di awal bulan Mei pada tuhan.
“Kau hanya partikel kecil di
dalam butiran rintikan hujan yang telah mereda. Tapi kau masih [selalu] berada
di dalam setiap sel darah ku di mana jantung ini masih berdetak. Dan mungkin
sekarang kau akan segera menguap ketika mentari muncul dan membawa mu kembali
ke nirwana di sana. Semoga ketika hujan menyentuh ku tadi, pesan dari sel-sel
ku segera tiba pada mu.”
Dan pesan itu telah tiba dengan
satu pesan balasan bahagia dari mu. Kau menyapaku dan merindukan ku. Alam telah
membuat ku semakin menginginkan mu. Hujan telah berjasa menjadi perantara
antara kau dan aku. Walaupun raga mu belum mampu aku peluk dengan erat, aku
bisa dengan hangat merasakan hadir mu di dalam suhu yang meningkat sebelum
hujan turun. Kau berada tepat di depan ku. Senyum mu telah membuat ku semakin
memujamu. Seperti seorang Julius Caeasar yang mendambakan Cleopatra. Semoga
tidak seperti Majnun yang gila
mendambakan Laila, atau bahkan
akhirnya mati dengan tragis seperti Romeo dan Juliet. Aku hanya ingin ada
cerita Kamu dan aku dimana dongeng bisa menjadi panutan. Kita bisa menjadi pembuat
skenario yang handal untuk cerita yang ingin kita miliki bersama.
Tahukah kamu jika aku sangat mengagumi pantai dan lautan?
Aku ingin menggenggam tangan mu di sana. Menapaki pasir yang segera dibasuh oleh ombak di pesisir pantai dan menuju matahari terbenam. Tanpa hujan. Karena kita sedang tak membutuhkannya. Kau pasti hadir di sana di samping ku dan tak perlu perantara untuk bertukar cerita.
Waktu akan berlangsung cepat dan
kamu akan segera tersedu karena pasir waktu telah kering. Aku akan mengusap air
mata mu yang mengalir lembut, lalu tersenyum karena telah menunjukkan ketulusan
yang teramat sangat. Tak tahan aku pasti segera memeluk mu dan tak
melepaskannya hingga ombak pasang menenggelamkan mata kaki kita. Aku akan
menenangkan mu dengan berkata,
“Kita bisa, meskipun akhirnya
waktu juga yang akan memisahkan, seperti jarak untuk sementara. Semoga bukan
karena nafsu dan ego semata.”
Aku sungguh menyayangi mu.
Semoga kau pun begitu.
Pak, postingan ini keren banget. Like thissss.
ReplyDeleteTerima kasih Noy ^^
ReplyDeleteYa ampuuuun aku melow baca ini
ReplyDeleteHatiku ikut gerimis. Lalu senyum sendiri, lalu terasa hangat
Ah... suka sekali setiap pilihan diksi dalam tulisan ini
Terimakasih tulisan indahnya
Udh uch romantis nya😍😍😍 beruntung dia yang dicintai begitu dalam.
ReplyDeleteRasanya uda lama ngga baca yang bikin melooww. Nulis cerpen lagi pakkk
ReplyDeletePemilihan kata-katanya banyak yang aku belum tau mas. Bagus sekali karena akhirnya menambah perbendaharaan kata indah untuk menulis
ReplyDeletewah ini kata2 nya seperti penyair eh pujangga..bagus banget..klo dibikin novel cakeo lho pak ditunggu ya hehe..
ReplyDeleteNah sepemikiran. Tulisan seperti ini rasanya sayang banget kalau tidak dilanjutkan terbit dalam bentuk buku ya kak :)
DeleteMenarik sekali pak ceritanya, membuatku ikut merasakan apa yang anda alami.
ReplyDeleteDUh... romantis banget siiiy... ya ampun, jadi pengen cubit suami saya nih. plus cubit diri sendiri karena kepikiran begitu. huhuhu
ReplyDeleteSuka banget 😍😍😍
ReplyDeleteIzin save yaaa. Beneran adem dan merasa disayangi habis baca ini.
Aduh, kata-katanya membuat saya jadi terhanyut dalam suasana saja. Seperti menonton film romantis ya
ReplyDeleteBukan kisah laila dan majnun ataupun versi lainnya romeo dan juliet. Sepertinya kisah baru
ReplyDeleteBang Ginting, komentarnya keren loh :)
DeleteJadi ikut terharu bacanya. Ini fiksi apa kisah nyata sih? 😁😍
ReplyDeleteKalau ini kisah nyatanya sang penulis maka sungguh romantis, tapi kalaupun buka kisah nyata maka tetaplah romantis. Saya jadi ikutan romantis ini..hihihi
ReplyDeleteLanjutkan Mas Achdi... banyak yg suka lho kisah romansa. Fyi, di toko2 buku yg laris manis bak kacang goreng itu novel2 percintaan hehe
ReplyDeleteDari deretan kata-katanya, sepertinya ini nyata banget hehe curahan hati untuk si dia yang didamba hingga akhir usia... ihirrr
ReplyDeleteBapak Guru Bahasa Indonesia yaaaaa #asalnebak. Keren-keren ih coretannya. Ini lagi kangen sama siapa sih mas? LDR atau LDM mas? Semoga segera bisa bertemu dengan si kekasih hati.
ReplyDeleteLDM apa mbak?
Deletedalem banget kata katanya. narasinya juga bagus. saya sampai kebawa bacanya. keren
ReplyDeletemas, ini indah banget kata-katanya. :) Ini fiksi apa enggak sih, hayoo ngaku. Ayok mas, bikin versi bersambung. Aku bacanya antara senyum2 sendiri kebawa diksi yang dipakai
ReplyDeletesesuatu yang ditulis pake hati memang dibacanya harus pake hati juga :')
ReplyDeleteBisaan Pak merangkai kata-katanya. Saya mah malah belum bisa menulis seperti ini... Ceritanya lagi curhat kangen dengan seseorang kah? hehehe
ReplyDelete