Saya Seorang Guru I [Lelah]
Awal hari senin kemarin, 21 Mei
2012, membuat saya cukup bersemangat dengan sinar matahari yang terang di balik
dedaunan pohon manggis; udaranya segar. Saya bergegas bangun pagi sekali, sekitar pukul 4 subuh sebelum
adzan subuh berkumandang. Sehari sebelumnya ketika saya tiba di Parung, saya
ingin membersihkan kosan sebelum berangkat kerja. Saya pikir akan lebih bermanfaat
jika saya gunakan waktu untuk sedikit menggerakan tubuh dengan menyelesaikan
banyak pekerjaan rumah. Menyapu dan mengepel lantai, menyikat lantai dan bak
mandi, meyapu karpet berbdebu dengan sapu lidi, dan tak lupa membersihkan
bagian ruangan televisi yang menumpuk dengan kabel-kabel listrik, serta plastik
bekas makanan ringan semalam.
Saya merasa hari itu akan
memberikan banyak kesan di pertengahan bulan Mei ini. Aku akan mengajar kelas
program Sosial dan Ilmu Pengetahuan Alam. Di kelas Sosial, aku akan melanjutkan
pembelajaran tentang Genre yang telah
mereka pelajari di minggu sebelumnya. Dan di Kelas IPA, aku akan melanjutkan
pembelajaran Drama yang sudah masuk
tahap menuju pengambilan gambar, jika memungkinkan.
Sebelum semua itu ku lakukan, aku
lebih baik mempersiapkan diri dengan nutrisi yang cukup. Aku semalam telah membeli
roti gandum dengan susu kental manis sebagai sarapan awal sebelum jam 10. Aku
oleskan satu hingga dua sendok mentega bersama dengan susu kental manis dan
pasta cokelat. Beragam dan menggiurkan. Lalu aku seduh satu gelas kopi instan
kesukaan ku, satu sachet Nescafe Pas. Sembari
menunggu roti di dalam Toaster, aku
mengepel lantai dengan bau antiseptik lemon yang menyegarkan.
Tak hingga 3 menit, bau roti
panggang sudah tercium aromanya yang hangat dan manis. Sarapan sudah siap.
Saatnya menyiapkan diri dengan mandi dan shalat subuh.
Waktu sudah menunjukan pukul
06.28 dan aku berangkat menuju sekolah.
Seperti biasanya, apel pagi
dilaksanakan di depan luar lobby sekolah. Informasi disampaikan berkenaan
dengan Ujian Akhir Sekolah yang segera dilaksanakan mulai 28 Mei 2012 hingga 8
Juni 2012. Lalu ber berbunyi dengan nada di sebuah supermarket.
Kelas Sosial di jam pertama
membuat ku sedikit kecewa. Bahkan mengecewakan! Aku masuk kelas dengan memulai
bertanya tentang pekerjaan rumah mereka sebelumnya, dan tak satu pun dari
mereka yang membuat PR. Tiba-tiba mood saya hilang dan serasa menjadi tak peduli. Saya
tiba-tiba berpikir bahwa ketika saya peduli terhadap mereka, apakah mereka pun
berpikir hal yang sama. Saya rasa, di awal-awal pertemuan ketika mereka tidak
mengerjakan Pekerjaan Rumah yang saya berikan, masih bisa saya toleransi karena
saya percaya pada mereka bahwa mereka
hanya terlalu lelah dengan banyaknya kegiatan setelah jam sekolah. Tetapi
ternyata toleransi yang saya berikan membuat mereka terbiasa dimaafkan dan tidak membuat mereka
merasa memiliki tanggungjawab terhadap apa yang seharusnya menjadi kewajiban
mereka.
Andai saja mereka berpikir bahwa
Pekerjaan Rumah bukan sebuah beban, tetapi sebuah proses yang harus mereka
ulangi agar mereka bisa lebih memahami materi yang dibahas di kelas, saya yakin
mereka bisa menguasai materi dengan baik. Sayangnya, “lupa, Mister!” selalu
menjadi senjata andalan yang paling buruk untuk bisa meluluhkan hati saya dan
melanjutkan pembelajaran. Dan itu tidak berlaku di hari itu. Saya tak lagi mampu
mencernanya dan menyerah. Saya pergi meninggalkan kelas dan berpikir bahwa
lebih baik saya melanjutkan saja membuat soal latihan untuk Ujian Akhir
Semester minggu depan. Dan tampaknya mereka pun tak peduli dengan reaksi saya
karena tampak mereka melanjutkan menonton video di laptop mereka.
Saya pun
semakin tak peduli.
Rasa tak peduli yang berlebihan
ini muncul ketika saya sudah percaya pada
siswa saya, bahwa mereka akan berbuat jujur selama belajar bersama saya dan
mereka percaya bahwa saya bisa membantu mereka untuk menjadi siswa yang lebih
baik, terutama dalam pelajaran Bahasa Inggris. Selain itu, terlalu banyaknya alasan
yang sama yang membuat saya eneg untuk
berdiskusi lebih lanjut dengan mereka. Ini adalah kondisi yang belum bisa saya
pecahkan karena mereka belum menyadari perbuatan mereka yang notabene telah “mengkhianati”
saya.
Saat ini saya hanya berpikir
bahwa, “Sudahlah, saya tidak terlalu peduli lagi karena mereka sendiri ternyata
tidak peduli pada diri mereka. Dan hari itu saya menyerah. Jika mereka tak mau
berubah, tanggungannya mereka tak akan saya ikutsertakan dalam Ujian Akhir
Semeseter, lebih buruknya saya akan mengajukan untuk tidak menaikan mereka ke
jenjang berikutnya!”
Saya cukup lelah.
No comments:
Silahkan tinggalkan pesan atau komentar yang membangun untuk penulisan/karya yang lebih baik. Terima kasih.