Lesehan di Bumi Geulis
Pada Sore itu, kamis 17 Mei 2012, senja sudah menjelang di pertengahan di ufuk barat. Matahari
masih bersinar dengan hangat. Tak ada tanda akan hujan karena awan masih putih
tak kelam. Hari ini aku berencana untuk pulang ke Kota Sukabumi karena ada
cukup waktu kurang lebih tiga hari untuk menikmati kebersamaan bersama
keluarga. Terlebih lagi, uwa1 ku
sedang terbaring di rumah sakit karena penyakit jantungnya sehingga ada alas an
aku pulang. Selain itu, sepupu perempuan ku yang menikah dengan warga Negara Arab
Saudi ada di Sukabumi, jadi aku bisa melepas kangen yang sudah cukup lama tidak
bersua.
Setelah shalat dzuhur, aku hendak
meminta izin dari sekolah karena ingin pulang lebih awal untuk mengejar kereta
keberangkatan pukul 5 sore di Stasiun Bogor. Dengan begitu, kemungkinan
mendapatkan tempat duduk akan lebih terbuka lebar karena aku akan berangkat
bersama kedua teman ku, yaitu: Ibu Siti Samsiah dan Bapak Ihsan Sunarli. Ibu
Siti samsiah adalah seorang guru Bahasa Jerman yang tinggal di sekitar
kecamatan Lembur Situ, sedangkan Bapak Ihsan Sunarli adalah seorang guru
Matematika yang berdomisili di Cibadak bersama istri dan mertuanya.
Ketika hendak meminta izin,
ternyata ada seorang teman guru lainnya, yaitu Ibu Rini Rosmayasari, seorang
guru Kimia yang fasih berbahasa Inggris dan mendapatkan gelar Master nya di
Universitas terkemuka di Indonesia, Institut Teknologi Bandung, dengan predikat lulusan terbaik di angkatannya,
mengatakan bahwa tak perlu meminta izin dikarenakan memang khusus untuk hari
itu semua civitas diperbolehkan pulang lebih awal dari biasanya pukul 15.45
menjadi pukul 15.00. Melegakan sekaligus cukup memalukan karena izin ini sudah
kami rencanakan jauh-jauh hari sebelumnya.
Pukul 15.00 kami berangkat menuju
Stasiun Kereta Api Bogor dengan menggunakan angkutan umum No. 06 Jurusan Parung
– Merdeka, Bogor. Waktu yang ditempuh kurang lebih 45 menit hingga satu jam
sehingga perlu menyiasatinya dengan berbincang selama perjalanan atau
mendengarkan lagu. Aku berangkat lebih awal dengan Frau2 Siti untuk mendapatkan tiket lebih awal. Lagipula
Pak Ihsan sedang sibuk menyelesaikan tugas lain yang berhubungan dengan lembur
guru ketika Ujian Nasional berlangsung di bulan April kemarin.
Selama di perjalanan, Frau Siti sibuk menelepon semua kawan
dan saudaranya karena beliau hendak pergi ke Bengkulu untuk urusan keluarga.
Sedangkan aku sibuk menikmati pemandangan sepanjang jalan, meskipun yang tampak
seringnya adalah rumah dan ruko-ruko yang menjual berbagai hal.
Tiba di Stasiun Kereta Api, Bogor, aku langsung mengantri untuk membeli tiket Kerea Ekonomi yang kemungkinan besar akan sulit mendapatkan tempat duduk. Karena aku melihat Kereta sudah ada tepat sebelum aku mengantri tiket. Kami membeli tiga tiket lalu menuju sebuah mini market yang menjual camilan. Aku hanya butuh satu botol air mineral karena dari pengalaman sebelumnya, aku membeli cukup banyak makanan dan minuman untuk camilan di Kereta, pada akhirnya tidak dimakan juga karena kantuk yang begitu berat.
Menuju Kereta Ekonomi Bumi Geulis3, aku tidak menemukan satu pun tempat duduk yang kosong. Meskipun sebenarnya masih banyak kursi kosong tetapi beberapa orang sudah booking untuk sejawat mereka yang masih dalam perjalanan. Padahal waktu masih menunjukkan pukul 16.10 untuk keberangkatan kereta pukul 17.00. Dari gerbong depan hingga belakang kami coba mencari kursi kosong, akhirnya memang bukan rezeki kami. Lalu kami memutuskan untuk berdiri seperti di Kereta atau TransJakarta selama perjalanan, tetapi ternyata tanpa kursi pun kami bisa duduk di lantai di dekat pintu keluar di masing-masing gerbong Kereta. Tak masalah rasanya, selama kami masih bisa beristirahat selama perjalanan dan tak ada satu penumpang pun yang dirugikan atau bahkan dibahayakan dengan cara kami. Ternyata, memang hampir semua penumpang yang tidak kebagian kursi pada akhirnya ngampar4 dengan menggunakan beberapalembar Koran bekas sebagai alas. Saya pun tersenyum dan merasa lucu dengan kejadian ini. Tapi Frau Siti mengatakan bahwa ini ini seperti sebuah piknik di dalam Kereta dan akan menyenangkan meskipun tampak seperti tumpukan Tenaga Kerja Indonesia yang akan dikirim ke Malaysia atau Arab Saudi.
Tepat sebelum kereta berangkat, Pa Ihsan tiba dan bergabung bersama kami yang tampat seperti rakyat jelata yang dikurung di dalam sebuah gudang pengap dan sesak. Di perjalanan, ada seorang bapak yang menjual bola karet cahaya yang apabila dipantulkan ke lantai akan mengeluarkan cahaya dari dalamnya. Tak tahu terbuat dari apa, tetapi banyak penumpang yang tertarik untuk mendapatkannya. Bahkan Pa Ihsan membeli dua buah bola dengan harga yang terjangkau. Satu harga bola dipatok dengan harga Rp. 3000. Tadinya aku pun ingin membelikan dua buah bola, tetapi tidak berani karena khawatir dengan bahan plastik dan substansi lain yang mungkin berbahaya bagi balita. Jadi aku mengurungkan niat untuk membelikannya untuk keponakan ku yang sedang gencar tak mau diam. Tak terasa karena kami banyak tertawa dan bercanda sehingga perjalanan sudah di Stasiun Cibadak. Lalu Karang tengah, Cisaat, dan Sukabumi.
Pa Ihsan sudah meninggalkan kami
berdua lebih awal karena turun di Satsiun Cibadak. Frau Siti dan aku berpisah di pertigaan Ramayana/Odeon5 Sukabumi.
Sebelum aku pulang ke rumah, aku
memutuskan untuk mengisi perut dahulu karena khawatir di rumah tak ada makanan.
Karena biasanya ibu ku pada saat malam begini pasti sedang menjual Bandros6 di sekitar Jembatan
merah, Baros7 Sukabumi. Ada
beberapa pedagang pinggiran di sepanjang Jalan antara Pasar Gudang dan Pasar
Pasundan. Aku kangen Mie goreng Aceh atau mungkin satu piring Nasi Goreng Aceh
bisa memuaskan selera ku malam itu. Tapi sebelum tiba di roda yang aku
inginkan, sebuah roda Bubur Ayam Sederhana
membuat ku belok dan memesan satu mangkuk dengan taburan kacang kedelai dan
kerupuk garing yang disantap bersama Keroket8
atau sate ati-ampela.
Setelah puas, aku berjalan di
sepanjang Jalan Gudang, Sukabumi dengan penuh kebanggaan bahwa pasar
tradisional di sini masih sangat bermanfaat dan masih layak dikunjungi jika
dibandingkan dengan maraknya pasar-pasar modern. Hanya saja, dimana pun ada
pasar tradisional, maka di sanalah salah satu pusat kemacetan berada. Jalan
yang sempit, parkir kendaraan yang menjorok ke jalan utama, para pejalan kaki
yang berjalan sntai di samping-samping jalan tanpa jalan khusus pejalan kaki,
dan terkadang beberapa pedagang usil yang tak sadar bahwa tempat mereka
berdagang terlalu melebar ke jalan utama. Tetapi setidaknya pasar Gudang dan
Stasiun Kereta ini adalah peninggalan yang tersisa dari masa kecil ku yang
telah kehilangan banyak kawan akibat penggusuran.
Masuk sebuah gerbang kecil, aku
melewati rel Kereta api dekat Stasiun Sukabumi. Dulu, biasanya banyak sekali
berkeliaran para penjaja seks yang dikuasai oleh lelaki betina atau dikenal
dengan sebutan Waria9. Tapi
Alhamdulillah, sekarang tampaknya sudah berkurang. Tinggal tersisa
wanita-wanita tua yang tak mampu mencari nafkah dengan layak dan menjajakan
tubuh mereka. Anehnya, mereka bertahan karena ada konsumen yang selalu saja berkumpul
di sebuah warung remang-remang di belakang ruko penjual daging merah.
Aku menyadari bahwa kehidupan ku
sangat dekat dengan lingkungan Prostitusi10
dan Premanisme11 sehingga
aku merasa menjadi orang yang Open minded
dibandingkan dengan kawan-kawan sebaya ku. Dan tak bisa ku pungkiri bahwa
masih banyak hal yang perlu dibenahi dari kota Sukabumi. Bagaimanapun juga, aku cinta kota ku, Sukabumi.
Footnote:
- Panggilan untuk kakak perempuan dari Ayah atau Ibu
- Panggilan Ibu [guru] atau Ms/Mrs dalam Bahasa Jerman
- Kereta api Bumi Geulis adalah kereta api komuter bisnis yang diresmikan pada 15 Desember 2008 oleh Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal. Kereta api ini melayani jalur Stasiun Bogor - Stasiun Sukabumi yang ditempuh dalam waktu dua jam.
- Lesehan
- Jl. Tipar Gede Sukabumi
- Kue sejenis pukis besar atau di Jakarta dikenal dengan sebutan kue pancong
- Nama lain dari Jalan R. H. Didi Sukardi, Sukabumi
- Gorengan isi bihun dan sayuran
- Wanita Pria [Bencong/Banci] yang berdandan dan berkelakuan layaknya wanita yang biasanya menjajakan diri di tempat-tempat remang.
- Pelacuran atau prostitusi adalah penjualan jasa seksual, seperti seks oral atau hubungan seks, untuk uang. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur, yang kini sering disebut dengan istilah pekerja seks komersial (PSK).
- Premanisme (berasal dari kata bahasa Belanda vrijman = orang bebas, merdeka dan isme = aliran) adalah sebutan pejoratif yang sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain.
- Sumber:
- www.wikipedia.com
- Poto Kereta Bumi Geulis dari http://ruangfoto.com/wp-content/uploads/2012/01/kereta-10.jpg
Saha nu teu damang de???
ReplyDeleteUwa Tini, kamari struk ayeuna Jantung. Dirawat di RS. Bunut.
ReplyDelete