Mari Mampir!

Selamat datang di blog saya. Selamat menikmati menu beragam yang akan mengisi dahaga mu akan ilmu dan rasa lapar mu akan cerita tentang hidup. Jangan dulu meninggalkan meja makan ku sebelum kamu kenyang dan siap melangkah lagi. Salam kebajikan.
Breaking News
recent

Mimpi : Toko Kelontongan di Dufan

Memasuki gerbang yang tidak terlalu besar tampaknya menjadi hal yang aneh untuk sebuah taman rekreasi tingkat nasional seperti Dufan. Aku bersama beberapa kawan kuliah yang tampaknya berbeda jurusan, tetapi tampak cukup akrab bersendau-gurau dan bercerita banyak hal. Tampak di name-tag mereka ada yang dari jurusan Pendidikan Sejarah, geografi, Biologi, tetapi beberapa lainnya tidak mengenakan tanda pengenal. Sayangnya tidak disertakan nama mereka sehingga aku tidak dapat mengingat nama dari tiap-tiap peserta rekreasi. Bahkan aku tidak tahu apakah itu sebuah rekreasi atau bukan. Tetapi karena lokasinya merupakan sebuah Dunia Fantasi, maka aku menyimpulkannya sementara sebagai sebuah rekreasi.

Tempat yang pertama kali hendak kami kunjungi adalah Tornado. Tetapi jalan menuju ke arah sana sangat tidak logis. Kami harus melewati beberapa gang sempit yang disampingnya terdapat got-got bau seperti di sepanjang daerah Pademangan, Jakarta Utara. Belum lagi muncul beberapa warga sekitar yang tinggal di tempat-tempat kumuh yang berceloteh tak jelas. Ada pula beberapa kayu bekas bangunan rumah yang menghalangi perjalanan kita. Yang aku tahu Dufan bebas dari hal-hal semacam itu. Akhirnya kami mengambil jalan bebas hambatan dengan mengambil rute yang berbeda. Ketika kami tiba di sebuah tempat, ada beberapa toko yang menjual makanan dan minuman. Tetapi beberapa diantaranya hanya berupa toko kelontongan seperti yang ada di sekitaran pasar-pasar tradisional. Ada juga yang cukup eksklusif yang menjual pernak-pernik ala Dufan dan restoran mini cepat saji.

Aku pikir ketika ada toko kelontongan, aku bisa mendapatkan harga makanan atau minuman yang lebih terjangkau jika dibandingkan harus membeli makanan cepat saji yang sering harganya lebih mahal dibandingkan di Mall-Mall yang ada.

Tokonya begitu sederhana dan tak luas. Hanya memajang beberapa bahan makan, mulai dari bahan sembako hingga rokok dan peralatan rumah tangga. Persis toko plastik yang fungsinya ganda dengan toko makanan ringan. Yang aku ingin beli pertama kali adalah salah satu produk minuman pereda panas dalam karena aku yakin selama di Dufan aku akan banyak berteriak menikmati histeria dari setiap permainan yang menantang. Dan aku membutuhkan biskuit atau wafer sejenisnya yang tidak terlalu manis, tetapi mengandung rasa asam seperti beperisa stroberi. Tak lupa satu bungkus permen dan satu buah tissue basah. Cukup banyak pembeli tampaknya sehingga aku masih diabaikan oleh penjualnya. Wajahnya seperti penjual rokok sewaktu aku masih SMP/SMA. Waktu itu aku sering diminta tolong oleh Almarhumah nenek ku untuk membeli rokok sebagai salah satu komoditi dagangannya bersama dengan bandros-bandros khas kebon Kalapa. Tetapi wajah satunya lagi seperti salah satu pemain ganda putri Malaysia pasangannya Wong Pei Ty, jika saya tak salah.

Karena masih cukup lama tampaknya, akhirnya saya memutuskan berkeliing mencari barang-barang lainnya yang mungkin akan membuat saya tertarik. Ada satu netbook berukuran mini. Ukurannya setengah dari ukuran netbook yang saya miliki. Aku coba buka e-mail dan berhasil. Ketika hendak mengunduh dari e-mail tersebut, tampak koneksinya semakin melambat dan selalu gagal. Akhirnya aku keluar tanpa mendapatkan hasil apapun. Aku perkirakan 15 menit durasi penggunaannya. Dan aku yakin itu tidak gratis.

Ketika semua sudah tidak terlalu ramai, tak terasa aku sendiri di toko tersebut. Aku langsung dengan semangat menyebutkan barang-barang yang hendak aku beli ditambah dengan penggunaan internet yang telah aku gunakan selama 15 menit tadi.

“Semuanya….” Dia tampak menghitung tetapi ada sesuatu yang mencurigakan dari cara berpikirnya, “jadi 24. 500,-“

“Koq mahal sekali, Ci? Sudah saya perkirakan koq paling mahal juga 15.000!” Aku tidak setuju.

Dia mulai berpikir lagi dan melirik netbook mininya. “Tadi pakai internet, kan? Ya itu mahal!” Dia memojokkan ku.

“Berapa durasi per jam nya, Ci? Paling-paling kan 6000,- perjam?” Aku berasumsi.

“Ya sudah kalo gak percaya total semuanya hitung lagi sendiri. Kalau perlu tanya toko-toko sebelah supaya jelas harganya!” Dia tampak menantang.

Aku pun pergi mencari informasi karena aku merasa tertipu oleh penjual toko kelontongan berengsek yang sengaja mempermainkan harga. Dia pikir aku tidak tahu harga-harga yang selama ini aku sering beli. Ketika keluar toko, hari sudah gelap. Mungkin tampak maghrib. Dan toko-toko sekitar pun sudah tak ada. Yang ada hanya rumah-rumah kumuh seperti di sekitar belakang gedung Trans Corp di Mampang, Jakarta Selatan.

Ketika aku hendak mengetuk pintu, ternyata pintu yang ku ketuk bukanlah pintu selayaknya pintu. Bagian atas dan bawahnya sudah patah dan hampir habis dimakan rayap. Ada satu anak kecil yang sedang asyik mengotak-atik mainannya, dan ketika aku hendak bertanya dia hanya menggelengkan kepala seperti ketakutan terhadap orang asing.

“De, ada Ibu atau Bapak?” Aku mencoba ramah.

“Ada. Ibu…..” Dia berteriak lantang memanggil ibunya.

Ada satu sosok ibu yang tampak ramah muncul dari remang-remang rumah yang tak menggunakan lampu belimbing, tetapi bohlam yang hanya 5 watt saja.

“Iya, De. Bisa saya bantu?”

“Bu, bener kan harga wafer stoberi yang berukuran sedang hanya 6000,- saja? Lalu minuman pereda panas dalam polos berukuran kecil yg dalam botol plastik hanya paling mahal 2500,- saja? Saya sedang membeli sesuatu di toko sebelah tapi koq saya merasa ditipu ya, Bu?” Aku meminta persetujuan.

“Iya, De. Harganya gak terlalu jauh dari sana.” Beliau tersenyum.

“kalau begitu terima kasih banyak, Bu.”

Aku kembali menuju toko kelontongan tadi. Ketika sudah tiba, tak ada seorang pun yang menjaga tokonya. Tetapi barang-barang ku sudah masuk ke dalam kantong plastik semuanya.

“Ci, saya mau bayar nih. Ci…?” aku memanggil-manggil dengan sebutan Ci karena dari bentuk mukanya jelas bahwa mereka adalah warga keturunan tionghoa.

Satu orang penjual wanita yang berwajah seperti pemain bulutangkis ganda putri Malaysia menghampiri. Seperti biasanya, wajahnya yang tembem dan judes bertanya,
“Sudah ketemu harganya?”

“Ya sudah. Harganya sesuai dengan perkiraan saya koq, Ci! Saya bayar sesuai dengan harga yang saya perhitungkan ya?” Aku sedikit memaksa.

Dia hanya diam membisu. Tetapi tidak tampak kesal dan marah. Hanya melamun.

“Uangnya ini. Saya simpan di atas toples ini ya, Ci?” Aku menyimpan 3 lembar uang 5000,- an di atas tutup toples plastik warna merah.

Aku ke luar toko dan hendak mencari kawan-kawan ku. Tetapi aku tidak tahu harus pergi ke mana karena ini sudah tidak lagi terasa di Dufan. Lalu ada satu jeritan bocah yang melengking, terdengar gembira bermain dengan ibu atau saudara-saudarnya. Aku tidak dapat melihat di mana ia berada. Ketika ku sadari ternyata itu jeritan keponakan ku di ruang keluarga yang membangunkan ku dari mimpi di Toko kelontongan tersebut. Mimpi yang aneh. Karena jika tak aneh, bukan mimpi namanya.

No comments:

Silahkan tinggalkan pesan atau komentar yang membangun untuk penulisan/karya yang lebih baik. Terima kasih.

Powered by Blogger.