Ibukota
Pembakaran yang tidak sempurna dari corong-corong kendaraan bermotor ditambah dengan terik matahari yang menyengat kulit, menambah suhu yang semakin menggila di waktu setelah dzuhur kemarin. Di minggu sebelumnya kau dengan ceria meminta ku untuk bercengkerama dengan alam di ibukota, bersama kawan-kawan mu yang mencintai jenis unggas terbang di sekitar tamannya, dan berbuka puasa setelahnya. Aku pikir itu sejujurnya tidak begitu menggoda. Ketika aku harus merasakan kembali atmosfir aneh bersama polusi dan bau got ibukota. Tetapi bersama mu, aku rasa semua suasana akan berbeda. Kau akan melindungi indra penciuman ku dengan bau keringat dan parfum mu yang menggoda. Menuntun ku menerjemahkan setiap tanya hati yang aku bungkam selama di dunia. Melepaskan ion-ion negatif bersama cara pandang mu yang merona.
Banyak hal pun yang ingin kau ketahui tentang masa sebelum mu. Meskipun tak terlalu pribadi, aku yakin itu merupakan awal yang baik untuk kita berdua. Tak jarang ketika mulut ku bercengkerama dengan kata, mata ku selalu tajam langsung pada pandang mu yang kadang tersipu malu. Aku menjadi sungguh-sungguh ingin berusaha menemukan hati mu dan memeluknya.
Luasnya masih sama seperti pertama kali aku menginjakkan kaki ku disana. Tingginya masih sama, hanya saja saat itu awan-awan tampak begitu bersahabat. Mereka menutupi terik matahari dan tak perlu banyak pohon untuk ku berteduh dibawahnya. Tetapi mungkin gemercik air yang membuncah dari dasar kolam di ujung jalan sana, membuat ku sedikit tergiur untuk bisa berendam sejuk di dalamnya. Tak banyak orang berlalu lalang. Hanya satu atau dua saja yang giat berlari kecil. Ada pula bocah-bocah sekitar tingkat sekolah dasar yang berlari mendapatkan angin untuk layangannya yang sederhana. Pasangan muda yang tak canggung berpegangan tangan mesra. Serta penjaja kaus dan benda-benda ala Monas. Ku tatap langit sejenak yang tak silau. Biru dan sedikit tertutup awan-awan tak putih bersih. Sedikit mendung tampaknya. Kau pun sibuk dengan mainan istimewa mu. Mencari objek-objek menarik yang membuat mu tampak bergelora. Bahkan aku pun menjadi sasarannya. Aku senang tanpa percuma.
Hingga malam tiba, saat kereta malam berceloteh dengan bulan, serta angin yang membawa ku bersenandung pada tuhan di Masjid Istiqlal. Lelah, sejujurnya, tetapi melihat mu begitu bersemangat dan penuh gairah, aku pun menolak untuk menyerah. Hingga satu jam sebelum pergantian hari, kita menyempatkan diri menikmati satu porsi bubur kacang hijau yang disuguhkan dengan toping ketan hitam, susu kental manis cair, dan santan. Tak lupa satu gelas teh poci hangat yang nikmat. Meskipun rasanya tak seperti yang ku harapkan, tetapi bersama mu menghabiskan waktu itu lebih dari anugerah tuhan. Selalu terbesit di benak ku untuk bisa meraih tangan mu dan menggenggamnya dengan erat. Saat mata-mata lain acuh dengan sekitarnya. Saat tak seorang pun peduli dengan kita. Saat itu lah aku benar-benar bisa merasakan untuk memiliki mu. Tak perlu seutuhnya. Hanya semampu kita berdua mencurahkannya dengan simbol-simbol. Cukup dengan satu kata, kita.
No comments:
Silahkan tinggalkan pesan atau komentar yang membangun untuk penulisan/karya yang lebih baik. Terima kasih.