Rindu [Mengerak Lilin]
Titik-titik butiran hujan tertumpah ruah...
Telah jauh ku pijak kan langkah-langkah kecil ku menuju arah lawan angin mu. Masih saja aku menoleh ke belakang, di sela-sela pundak ku. Andai kau masih mengikuti dan sedikit berlari mengejar ku hingga aku bersembunyi di semak belukar dan di antara dua sungai yang membelah hutan rindang di timur laut. Mungkin, aku akan bersama mu meraih pedesaan setelah nya.
Begitu pun dengan kaki kecil yang menopang ku selama ratusan hari di atas tanah yang tampak selalu basah dan merah. Mungkin kau tahu, bahkan pernah mendapatkan kabar ku bahwa aku selalu duduk terpaku di bawah pohon beringin raksasa di taman kota, menunggu kau sepulang bersama matahari sore dan guguran daun-daun kering.
Tak ada aku, sesungguh nya. Hanya imaji-imaji di sekitar ubun-ubun yang dipadu dengan kerinduan ku. Kau pasti tahu itu. Hanya saja rindu ku layaknya semangkuk sup dingin yang hampir mengerak lilin karena lemak kaldu ayam yang tebal. Seperti ampas kopi yang hanya pahit dan tak menarik untuk diseduh ulang.
Sekali-kali, ku mampu melirik mu dalam buah-buah mimpi yang telah matang dan jatuh hingga busuk. Lalu berubah berbaur bersama bakteri-bakteri tanah hingga diserap kembali oleh titik-titik saraf ku, mengalir melalui lubang-lubang nadi, hingga ke jantung ku.
Kau selalu nyata di sini. Menemani ku menuliskan puisi-puisi indah. Menopang ku ketika lelah. Menyisir rambut ku setelah tak basah. Mengusap kulit kepala ku hingga memeluk di antara guling bantal sebelum tidur. Kau ada. Dalam wujud jiwa tak kasat mata. Dalam semilir sepoi serta sorotan mata dari tiap lubang cahaya. Karena kau begitu luar biasa.
Ketika ku meminta berandai pandai, ku ingin kau hadir dan menjadi kandidat paling kuat untuk menghapus pelbagai jenis sepi yang telah aku dokumentasikan dalam benak dan aku beban kan di pundak ku. Karena kau masih nyata untuk ku. Aku masih memilki rindu yang tak pernah mati. Karena kau adalah sebuah simbol rahasia dari jutaan jawaban yang ada di dunia.
Di Bulan Mei, aku selalu berdo'a agar aku mampu melewai satu dua tapak rindu yang telah aku gambarkan di atas tanah subur setelah hujan deras mengguyur nya menjadi seperti lumpur. Lembek dan cepat kering. Begitu rapuh.
Andai kau masih tahu bahwa rindu ini nyata; tak seperti jiwa mu yang tak kasat mata? Mungkin kah kau akan menyambut genggaman jari-jari dingin ku ini. Setelah menempuh perjalanan jauh. Dari gurun hingga kutub. Aku sudah terlihat pucat berwana keperakan. Sayang atau bahkan beruntung, aku belum diizinkan meninggal kan dunia kasat mata dimana rindu ini berasal. Karena aku rasa sulit beradu. Kau satu pemimpin, di lain pihak aku pemimpi. Kau selalu menggenggam sebuah memori penting ketika November mendefinisakan Bulan dalam malam-malam nya yang dingin.
Dalam warna sepia, di bawah sadar ku, tampak kilatan rona jingga, garis-garis pudar dunia nyata. Kau tak bergerak layu, menengadahkan kepala, pasrah [tak dapat ku definiskan]. Kau pun menutup raut-raut indah di wajah mu dengan telapak tangan yang memerah karena darah, atau mungkin itu bukan darah, aku tak tahu. Aku tahu itu warna merah. Pekat. Kau lepaskan dengan hempasan di dada. Seperti semua perih itu berasal dari kulit luar nya yang tampak mengesalkan mu. Ingin sekali melepaskannya. Aku hanya terpaku menyaksikan bayangan jingga tak jelas, mengelilingi mu. Atau melindungi mu. Seperti arwah-arwah penasaran yang melarang ku mendekati mu. Kau bukan milik mereka. Kau milik ku.
Tak lama aku temukan kau terjatuh, lalu bersimpuh. Melawan ku. Membelakangi ku. Memalingkan semua yang dulu pernah jadi milik ku. Dan kau berdiri lalu berlari. Dan menghilang di telan kejinggaan. Karena sepia tidak memilki kegelapan. Hanya satu. Jingga.
Ku sandarkan beban di sekitar pundak dan kepala ku di samping jendela kamar. Lalu ku rebahkan kembali kaki-kaki lelah dari mimpi bawah sadar semalam suntuk. Ku lihat di luar masih tampak gelap. Hanya satu yang selalu setia. dedaunan selalu hijau. Sebelum terkena debu yang menjadi hijau keabuan. Kadang kecoklatan.
Di depan gerbang bambu yang ku lihat, tak ada sisa telapak tangan mu yang membuka atau menutup nya. Hanya dari jejak hembusan nafas mu saja yang masih tertata di koridor otak ku. Meskipun milyaran koridor yang tersedia. Meskipun tak tesimpan rapi. Bahkan acak, masih dapat ku temukan dengan mudah satu atau dua data tentang mu di sana. Kau tak mudah dihapuskan.
Hingga aku menatap lilin kecil yang ku pasang kala listrik negara tak mampu bertahan. Hingga purnama datang. Hingga suara-suara serangga genit yang menggoda. Bahkan hingga kembali sulit melupakan mu. Kau membuat ku mati bersama serpihan kita.
Mati ku bukan mati abadi. Tetapi mati suri. Menunggu hingga aku sadar diri.
No comments:
Silahkan tinggalkan pesan atau komentar yang membangun untuk penulisan/karya yang lebih baik. Terima kasih.