Mari Mampir!

Selamat datang di blog saya. Selamat menikmati menu beragam yang akan mengisi dahaga mu akan ilmu dan rasa lapar mu akan cerita tentang hidup. Jangan dulu meninggalkan meja makan ku sebelum kamu kenyang dan siap melangkah lagi. Salam kebajikan.
Breaking News
recent

Dan Aku Sendiri

Terik mentari cukup menyengat, menyerap ke dalam pori-pori kulit ku. Bahkan ubun-ubun ku begitu kering dan berdebu. Kutu-kutu serta bakteri-bakteri yang membuatku gatal seharian bisa mati. Tetapi tetap gatal. Salut pada pohon-pohon yang menjulang tinggi hingga bermeter-meter kokoh melawan nya, menantang waktu dan badai. Dedaunan tetapi kadang jatuh sebelum waktunya. Kering lunglai dan menunggu terurai di atas tanah. Ranting-ranting gemuk penuh nutrisi, hijau, dan segar, mengering dan terinjak patah oleh kaki-kaki yang berlarian di atas taman kota. Dan aku sedang termenung menatap pada satu titik di batang pohon setinggi dua hingga tiga meter, berwarna hijau kecoklatan, seperti bersisik, dan tampak satu garis putus-putus dari deretan semut merah yang bergelombang seperti arus sungai kecil di dekat sawah di kampung halaman ibu ku.

Teriakan seorang ibu pada anaknya yang masih tak cukup kuat berlari dengan gembira mengejar kupu-kupu ditemani oleh kakak perempuannya yang sumringah dengan usaha adik laki-laki kecilnya menangkap serangga indah yang sebenarnya membuatku geli. Berbulu halus dan sebelum berevolusi, merupakan makhluk yang begitu “menggatalkan” sugesti. Begitu lah aku menciptakan istilah. Adapun yang mengayuh sepeda. Sepasang sahabat, mungkin kekasih. Tak terlalu ku bisa pastikan, tetapi mereka begitu ceria. Yang perempuan mengayuh dengan perlahan disusul oleh gurauan teman lelakinya tepat mengikuti di belakang dia. Sering mengingatkan si gadis untuk berhati-hati dan memintanya berhenti sejenak jika dia telah lelah. Lalu mereka berhenti pada satu tempan yang sejuk di bawah pohon beringin sedang. Ada satu kursi kayu yang terbuat dari bamboo kuning, atau bisa dikatakan bamboo yang dicat kuning. Aneh, kenapa begitu aku senang memperhatikan mereka berdua. Si gadis cukup terlihat letih karena dalam beberapa tegukan dia hampir menghabiskan air mineral botol yang diberikan oleh si pria. Dan si pria begitu penuh kasih menatap si gadis. Melap kening si gadis lalu menengadahkan wajahnya ke atas dedaunan rindang di atas pohon. Lalu di menunjukkan satu jari untuk menggambar di atas angina pada si gadis. Si gadis tersenyum dan tampak memahami isyarat si pria. Mereka bertatapan lama sekali lalu tertawa terbahak-bahak. Ada apa? Aku kira akan menjadi suasana yang romantis di pagi hari. Atau itu bahkan sudah romantis?

Di bawah pijakan kaki ku, rerumputan begitu menggiurkan. Tampak empuk dan sejuk jika ku hempaskan tubuh ku di sana. Dan aku menyerah sehingga pun bisa ku tatap langit biru dengan serat-serat awan di pagi hari. Indah. Dedaunan yang berjatuhan. Semilir angina sepoi-sepoi. Nyanyian serangga pagi. Tawa keluarga. Gemerincing bel sepeda-sepeda. Dan derap langkah remaja-remaja sekolah. Dan aku sendiri. Memejamkan mata dan menghirup bau rerumputan yang masih sedikit basah. Ku pandang jemari ku. Ku perhatikan rangkaian urat-urat hijau ku yang menyembul dari kulit tipis, sedikit rambut, serta garis-garis lipatannya. Ku balikkan dan memandang sejenak telapak tangan ku. Ku coba membacanya, mungkin pagi ini ku dapatkan sebuah kekuatan magis sehingga ku tahu jalan hidup ku. Jodoh ku. Serta dimana bisa ku temukan bahagia ku. Dan aku telah meminta hal yang akan dibenci tuhan, karena aku tahu itu kuasa Mu, tuhan ku. Maaf.

Kembali ku pejamkan mata ku. Semoga aku bisa sejenak telelap di sana dan membiarkan rerumputan memberikan terapi alam agar aku bisa berbaur dengan tuhan.

Dalam lelap ku, ku temukan satu berhala. Satu kuil. Dan satu lorong. Aku ragu akan mimpi ku. Karena mungkin itu imajinasi ku. Aku terlelap pun tak tahu. Aku tak tahu.

Lorong itu begitu gelap dan lembab. Ada enam hingga pijakan tangga sebelum bisa meraihnya. Tak ada satu penerangan apapun, bahkan obor. Beruntung masih ku rasakan terik matahari sehingga aku tahu aku berada pada siang hari. Tetapi tak kurasakan satu semilir angina pun. Tapi aku masih bisa bernafas. Meskipun sedikit ternegah-engah. Karena mungkin oksigen menipis. Dan aku sudah berada di dalam kuil, tampaknya. Karena semua menjadi gelap dan dingin. Satu dua titik tetesan air menetes. Mungkin sekarang aku ada di gua, bukan kuil yang tadi ku lihat. Tak ada suara lagi. Lebih dingin terasa. Ku coba meraih sesuatu dengan ujung-ujung temari ku. Hampa. Tanah yang ku pijak tampak licin dan berbau. Sedikit anyir dan tak menyenangkan lambung ku. Mungkin hendak segera muntah tetapi ku tahan. Lalu gemuruh sungai yang begitu deras datang dari sekeliling ku. Apa mungkin banjir? Ataukah sesuatu yang yang lebih buruk?aku bersiap saja dengan tak ada rasa takut. Malah tenang dan telah mempersiapkan segala kemungkinan yang terjadi. Aku terseret air yang begitu banyak dan deras. Dan aku tak mampu melawan.”

Dan aku kehujanan. Aku berlari mencari satu tempat berlindung yang paling dekat dari tempatku terlelap tadi. Hujannya begitu deras. Padahal tadi ku tahu langit tak mendung. Tak ku curigai sedikit pun akan hujan. Dan hujan membangunkan ku.

Satu gubuk kecil menjadi arah tujuan ku. Dengan setengah basah aku berlari dan menemukan seseorang yang sedang cemberut menunggu hujan reda. Kasihan, dia sangat basah. Jibrug. Aku tak biasa menyapa orang yang tak ku kenal. Dan kita hanya berdiam diri. Dia tampak menggigil kedinginan. Tapi aku tak bisa berbuat banyak. Dan kami terdiam. Tak ada niat untuk sedikit pun membuka pecakapan. Dan kami terdiam membisu. Lalu aku teringat di saku ku ada dua batang permen yang tadi pagi aku dapatkan dari keponakan ku yang giginya hampir ompong semua karena gula-gula. Dan aku berniat membuka percakapan. Ku hendak menyapa, tetapi dia berlari menembus hujan. Dan menghilang. Aku bahkan belum sempat mengetahui parasnya dengan jelas. Hanya cemberutnya saja. Dan aku sendiri. Di bawah hujan yang menggelegarkan kedashyatan aumannya di langit, serta pekikan halilintar. Angin pun semakin keras sehingga atap tipis gubuk ku berdiri secepatnya segera diterbangkan. Apa aku harus berlari sekarang? Aku tak terlalu berani. Karena aku sendiri.

Ku tatap kanan-kiri sekitarku, tak ada tanda-tanda manusia yang berteduh. Dan apa mungkin aku benar-benar sendiri di taman ini? Padahal ini masih pagi. Tadi ku tahu langit tak mendung. Tak ku curigai sedikit pun akan hujan. Dan aku sendiri berteduh di bawah gubuk yang atapnya akan segera diterbangkana angin.

Dan aku sendiri. Tak berani. Dan segera diterbangkan badai.

No comments:

Silahkan tinggalkan pesan atau komentar yang membangun untuk penulisan/karya yang lebih baik. Terima kasih.

Powered by Blogger.