Mari Mampir!

Selamat datang di blog saya. Selamat menikmati menu beragam yang akan mengisi dahaga mu akan ilmu dan rasa lapar mu akan cerita tentang hidup. Jangan dulu meninggalkan meja makan ku sebelum kamu kenyang dan siap melangkah lagi. Salam kebajikan.
Breaking News
recent

Shunya





Pagi itu sungguh adalah salah satu pagi tidak ternyaman yang aku rasakan. Dari lepas shalat subuh, aku merasa mual dan gelisah.

Itu adalah hari pertama ku mengajar di sekolah.

Aku percaya diri dengan modal besar ku selama mengajar empat tahun di bimbingan belajar.

Aku percaya diri dengan kemungkinan pertanyaan-pertanyaan tentang materi kebahasa-Inggrisan yang ditanyakan sebagai bahan percobaan intelektualitas ku sebagai guru nanti di kelas.

Aku percaya diri aku akan dapat masuk ke dalam ruang remaja mereka karena usia ku pun tidak terpaut jauh dan, dari pengalaman ku, banyak dari mereka yang sering curhat di luar kelas atau di facebook.

Ya, aku percaya diri. Tetapi tidak kerasan dengan apa yang aku rasakan sebelum masuk kelas. Apa aku berusaha untuk percaya diri? Entah.

Tiba d sekolah tepat pukul 6.30 pagi.

Aku menuju meja ku, yang secara tak enak hati, telah memindahkan satu guru senior di dekat pintu masuk.

Sebagai orang dewasa, aku memiliki kecenderungan tidak pernah tahu untuk memulai percakapan. Aku masuk ruang guru, mengucapkan salam, lalu ragu untuk menyapa siapa pun. Aku duduk dan pura-pura menyibukan diri untuk mempersiapkan mengajar di jam ke-3 dan ke-4 di kelas 11 Sosial nanti.

Bel berdering menandakan apel pagi di lapangan depan lobi dilaksanakan.

“Ayo, Pak, kita apel pagi di lantai satu.” Salah satu guru perempuan, paruh baya dan tampak ramah sekaligus tegas, mengajak ku dengan tersenyum.

“Baik, Bu!” Aku mengangguk tanda setuju.

Selama perjalanan kurang lebih dua menit hingga menuju lapangan apel, beliau menceritakan secara singkat tentang apa yang beliau pelajari sebagai guru selama di sekolah berasrama.

Tiba di lapangan apel, para guru berbaris rapi, dipimpin oleh satu guru muda dan seorang lagi adalah seorang wakil kepala sekolah bidang Kurikulum. Di satu sisi lapangan lainnya, para siswa berbaris dengan enggan, tampaknya kelas dua belas dan sebagian kelas sebelas, lainnya kelas sepuluh yang masih tampak polos dan sudah rapi di samping barisan guru. Barisan puluhan siswa tersebut dipimpin oleh wakil kepala sekolah bidang kesiswaan dan didampingi oleh staf nya.

Kami mulai dengan membaca do’a dan dilanjutkan dengan pengumuman penting yang akan berlangsung di hari tersebut. Ada pun kabar guru yang tidak masuk dan kegiatan-kegiatan terdekat yang melibatkan banyak tenaga guru, sehingga harus ada persiapan matang.

“Pak Achdi, silahkan maju ke depan untuk perkenalan.” Seorang guru perempuan di depan kami meminta dengan ramah.

Aku tidak suka perkenalan. Rasanya seperti pertama kali masuk sekolah dan menjadi manusia yang akan banyak kesulitan untuk berkata hal-hal sederhana. Sungguh, aku selalu memiliki kekhawatiran yang tidak perlu ketika harus berbicara di depan umum. Tetapi itu hanya terjadi ketika audiens ku adalah orang-orang dewasa, atau seumuran; bukan siswa.

Aku meneguhkan hati dan lulus ujian pertama sebagai rekan kerja para guru hebat ini. Minimal aku pikir begitu.

Apel selesai!

Dari jam pertama hingga kedua, aku benar-benar mempersiapkan materi ku nanti di kelas Sosial. Banyak guru biasanya memahami bahwa mengajar di program Sosial adalah sebuah tantangan besar, bagaimana pengelolaan kelas dan siswa, bagi seorang guru sangat diperhitungkan.

Aku harus mampu.

“Ngajar di kelas mana, Pak?” Salah seorang guru pria menepuk pundak ku dari belakang. Aku kaget.

“Di kelas 11 IPS 1, Pak.” Aku jawab dengan canggung.

“Jangan tegang-tegang, Pak. Santai saja. Mereka seru-seru koq.” Beliau menyarankan.

“Bapak sudah pernah mengajar mereka?” Aku penasaran.

“Dulu waktu mereka kelas sepuluh. Ya, waktu kelas sepuluh sih masih lucu-lucu ya.” Beliau tersenyum mengingat masa-masa di tahun lalu.

“Yang betah ya, Pak! Kasihan juga mereka kalau guru nya ganti-ganti terus.” Beliau menambahkan.

Buset! Ganti-ganti? Pada kemana guru nya kalau ganti-ganti terus? Apa mereka gak betah? Apa mereka dipecat? Apa anak-anak nya yang buat guru nya tidak kerasan? Apa teman-teman gurunya yang tidak mendukung dan membantu? Apa???

Begitulah! Aku tipe orang yang langsung mendramatisasi segala hal, sehingga belum mengajar dimulai, sudah banyak cerita buruk di dalam kepala. Seperti melihat ke masa depan dengan berbagai kemungkinan.

“Saya duluan ya, Pak.” Beliau pergi meninggalkan ruangan.

Aku perlu pergi ke toilet. Aku butuh mencuci muka ku. Aku butuh udara segara dan melihat rerumputan atau dedaunan hijau.

Bel jam ketiga berdering. Aku menghela nafas dalam dan panjang, berharap semua negatifitas tadi menguap menjadi karbondioksida.

Aku berangkat ke luar ruang guru dengan membawa tas gendong dan menjinjing buku absen di tangan kanan ku.

Aku melihat seorang siswa putri berjalan berlawanan arah, baru keluar dari pantry sekolah.

“Dek, kelas 11 IPS 1 di sebelah mana, ya?” Aku bertanya dengan sigap.

“Bapak guru baru ya? Itu kelas aku loh. Yuk, barengan ke kelas nya.” Dia dengan ramah mengajak ku berjalan bersama.

“Bapak namanya siapa? Ngajar apa?” Dia bertanya dengan antusias.

“Saya Achdi. Saya ngajar Bahasa Inggris.”Aku merespon.

“Pasti susah! Ntar jangan galak-galak ya. Terus, jangan banyak tugas sama PR.” Dia mencoba bernegosiasi.

“Nah, itu kelas 11 IPS 1. Aku di kelas 11 IPS 2. Dadah Bapak.” Dia pergi meninggalkan ku lebih awal.
Belum apa-apa sudah dibohongi siswa.

Dari dalam kelas, aku mendengar dia berteriak, “Woy, guru Bahasa Inggrisnya baru!”

Aku menggelengkan kepala sembari tersenyum kecil. Minimal, aku pikir, mereka senang dengan ada guru baru, tidak muram, jutek, dan acuh.

Beberapa langkah menuju kelas 11 IPS 1, aku melihat dua orang siswa ke luar dari kelas.

“Bapak ngajar di sini?” Seorang siswa pria dengan tinggi sektar 170 cm dengan rambut agak kribo bertanya ramah.

“Iya! Ini 11 IPS 1 kan ya?” Aku mengkonfirmasi.

“Woy, guru nya udah datang!” Dia berteriak diikuti oleh seorang siswa putri di belakangnya, lalu duduk di tengah di antara siswa-siswa lainnya.

“Assalammualaikum?” Aku menyapa dengan lantang. Aku memaksakan senyum ku.

Walaikumsalam….

Banyak dari mereka yang menjawab dan sebagian masih tampak enggan untuk mengangkat seluruh badannya untuk duduk rapi di kursinya. Lemas dan acuh.

“Bapak guru baru ya? Kenapa mau mengajar di sekolah ini, Pak?” Seorang siswa putri tiba-tiba penasaran.

“Bapak hari ini kita kenalan aja kan ya? Gak belajar dulu? Kita kan belum saling kenal?” Siswi lainnya berseru dari kursi kedua di depan di sebelah kiri.

“Bapak cerita-cerita dong! Ga usah lah kita belajar! Bosen belajar terus!” Yang satu siswi ini menguatkan permintaan teman-teman lainnya.

Aku menyimpan tas gendong ku di atas meja guru. Ku angkat kursi guru dan membawa nya ke depan tengah kelas membelakangi papan tulis.

“OK! Saya absen dulu ya biar saya bisa memanggil nama kalian masing-masing, gimana?” Aku meminta persetujuan.

“Mantap, Bos ku!” Seorang siswa menyetujui. Yang lain tampak kegirangan karena hari itu tidak ada pembelajaran.

“Nama saya Achdi Merdianto.” Aku menuliskan nama di depan papan tulis.

“Saya sewaktu di tempat kerja sebelumnya dipanggi dengan Kak Achdi, Kak AM, Pak AM, Pak Achdi, kalau kalian kira-kira mau manggil saya dengan nama apa?” Aku bertanya.

“Pak Ah.” Salah satu siswa dari belakang menyahut.

Siswa lainnya tertawa menyetujui.

“Mister Ah?” Salah satu siswa memberikan pilihan.

Disepakati lah Mister Ah.

Aku bercerita tentang kota asal, kuliah dulu, pengalaman mengajar dari semenjak kuliah, mengajar bimbel sebelum mengajar di sekolah ini, hingga alasan yang membuat ku melamar ke sekolah mereka, yang tampaknya tidak mereka banggakan.

Hampir seluruh siswa di sekolah ini adalah siswa dengan kemampuan ekonomi atas. Sehingga mereka dapat dengan mudah menentukan sekolah yang mereka inginkan tanpa berpikir tentang besaran biaya. Semua kebutuhan dan keinginan dengan mudah mereka ajukan pada orang tua. Apapun mudah.

Aku mulai ragu akhirnya untuk menentukan bahwa sekolah ini adalah sekolah yang ingin ku dedikasikan kemampuan ku sebagai guru.

Cita-cita ku adalah menjadi guru bagi yang benar-benar dibutuhkan, mungkin tidak dengan mereka ini, yang bisa dengan mudah menyepelekan semua proses pembelajaran karena pada akhirnya mereka memilki kuasa dan harta.

Beberapa dari mereka sepertinya tidak pernah mau berniat sekolah berasrama, tidak bebas, terpaksa karena orang tua.

Sepanjang jam ketiga hingga keempat, tidak terasa sembilan puluh menit sudah berakhir. Bel berdering menunjukan waktu istirahat pertama.

Aku keluar kelas dengan sedikit berat hati.

Anehnya, kelas tadi menyenangkan.

Di pertemuan awal mereka tahu apa yang mereka inginkan. Kita setuju dengan apa yang kita lakukan selama proses pembelajaran nanti. Mereka siap menerima ku sebagai guru bahasa Inggris baru mereka. Tampaknya aku pun tidak menemukan kesulitan berbaur dengan mereka. Dari sikap yang ditunjukan, banyak hal positif yang aku terima. Tetapi di sisi lain, ada keraguan tadi yang tiba-tiba menggangu.

Untuk apa kamu mengajar yang banyak orang kaya nya?

Dulu kamu ingin sekali mengajar di pedalaman karena kamu merasa bisa lebih berguna jika mengajar siswa yang kurang mampu?

Serasa ditampar oleh ambisi masa kuliah dulu, selama jam istirahat pertama, aku termenung, memikirkan kembali keberadaan ku di sekolah ini.

Ketika aku kembali menuju ke ruang guru, aku mendengar teriakan histeris dari arah kelas 11 IPS.
Ada apa?

Beberapa siswa berkurumun di depan kelas tersebut. Beberapa guru menghampiri dan membubarkan kerumunan siswa. Tampak dari kejauhan, salah satu siswa putri membopong satu siswi lainnya yang terkulai lemas menuju ruang UKS.

Itu kan Laras, siswi putri yang tadi bersama saya di kelas 11 IPS 1. Dia tadi ceria dan tampak tidak ada masalah.

Kenapa?

Masuk ke ruang guru, beberapa guru sudah berkumpul mendiskusikan tentang kejadian beberapa menit yang lalu.

Aku duduk dan ikut mendengarkan.

Masalah keluarga.

Laras adalah siswa dengan masalah keluarga yang teramat rumit. Dia rapuh. Psikisnya tidak stabil. Ketika bersama teman-teman sekelasnya, dia akan tampak ceria. Karena dia bisa bercerita dan mendengarkan banyak hal. Ketika waktu istirahat, dia terkadang tidak ingin ikut ke kantin dan lebih memilih untuk di kelas. Kadang satu waktu, dia hanya duduk di samping jendela dan menatap kosong ke luar.

Menikmati angin dari lantai dua.

Begitu katanya ketika pernah diceritakan oleh salah satu kawannya.

Terkadang, dia menangis tersedu-sedu, lalu berjalan perlahan menuju toilet perempuan. Dia mengunci diri nya sendiri hingga beberapa waktu. Pernah hingga satu jam.

Kenapa kamu lama sekali di toilet, nak?

Entah lah, Bu! Saya hanya ingin mencari ruangan untuk menangis.

Aku termenung, mencoba mendapatkan informasi sebanyak mungkin.

“Ingat gak ketika si Ilham? Yang duduk di pojokan sambil garuk-garuk kepala hingga kulit kepalanya lecet. Aku pikir kemasukan. Taunya, masalah keluarga!” Sambung satu guru.

“Pernah juga waktu saya mengajar di kelas 11 IPA 2. Waktu itu ibu nya datang untuk bertemu, tapi dia nolak gak mau, sampe keluar kelas dan sembunyi di toilet kolam renang. Denger-denger orang tua nya mau bercerai dan dia gak mau lihat wajah orang tuanya. Selama di kelas, dia ga menunjukan sikap aneh.” Tambah satu guru di sebelah kanan.

“Ya, anak-anak kita itu banyak bermasalah di keluarganya. Ada yang senang di asrama jadinya jauh dari kemelut konflik keluarga, ada yang merasa dibuang karena masalah keluarganya, ada juga yang memang benar-benar agar anak mereka bisa belajar mandiri dengan sekolah asrama.” Satu guru di sebelah ku berkata.

Aku terenyuh mendengar beberapa informasi yang mengkhawatirkan. Di balik senyum dan canda mereka tadi di kelas, beberapa, atau mungkin banyak di antara mereka yang menutupi aib, masalah, serta kerapuhan jiwa yang mereka miliki.

Aku terdiam.

Aku melihat ke luar jendela dan mendapatkan beberapa siswa sedang asyik berkumpul dengan tangan penuh oleh jajanan.

Mereka tampak tertawa lepas dan bercerita satu sama lainnya.

Aku kembali memusatkan mata dan telinga ku kepada guru-guru yang asik bercerita tentang pengalaman mereka dengan berbagai konflik yang dialami oleh siswa di sekolah ini.

“Yang paling sedih sih yang kemarin itu,” seorang guru mungil yang duduk di samping meja dekat pintu mulai bercerita, “Iya, yang anaknya ketahuan merokok di luar sekolah.”

“Waktu di ruang rapat, ketika orang tua nya dipanggil karena anaknya merokok, mereka ga terima kenapa anak mereka jadi perokok setelah masuk sekolah ini.”

“Kena batunya ya sekolah kita.” Satu guru pria yang berdiri membelakangi papan pengumuman menambahkan dengan cepat.

“Tapi anaknya langsung jawab. Enggak Yah, sudah dari SMP merokoknya. Ayah aja yang gak pernah di rumah dan gak peduli.”

“Padahal ayahnya sempat marah-marahin kepala sekolah dan wali kelasnya. Setelah anaknya bilang gitu, dia mau sendiri. Dia langsung nangis dan minta maaf sama sekolah dan terutama anaknya. Ibunya hanya diam dan menangis.”

“Iya, ya, terkadang, ada saja orang tua yang langung menyalahkan sekolah tanpa tahu sejarah anaknya sendiri. Ini untung anaknya jujur, kalo enggak ya sekolah yang repot. Kayak kita guru-guru gak ngapa-ngapain gitu. Apalagi kalaa sudah bawa-bawa kan sudah bayar mahal-mahal, masa yang kayak gini aja gak bisa ngurus. Sedih aku!”

Aku menyimak dengan baik setiap cerita yang diberitakan.

Kemudian seorang guru lelaki, baru datang dengan secangkir kopi yang harumnya memecahkan keseriusan di dalam ruang guru.

Semua mata menoleh sebentar kepada beliau dan lalu melanjutkan cerita mereka.

Guru dengan secangkir kopi harum tersebut menarik satu kursi di sebelah ku. Beliau mulai berbisik dan menyamarkan suaranya hingga hanya aku dapat mendengarkan apa yang hendak beliau ceritakan.

Beliau berbisik,
“Saya juga datang dari keluarga yang tidak seperti sebuah keluarga. Tapi hidup orang ya beda-beda nasib. Ayah saya pergi entah kenapa, menelantarkan keluarganya. Ibu berjuang sendirian menafkahi dan menyekolahkan anak-anaknya. Beruntung saya masih ada niat sekolah agak tinggian sampe kuliah di UPI sehingga bisa jadi guru kayak sekarang.” Dia tersenyum lirih.

Aku terkejut tiba-tiba kenapa beliau ini bercerita begitu banyak tentang keluarganya.

“Kalau saya mengikuti alur dengki dan amarah saya dulu, mungkin saya sudah hidup gak bener. Jadi gembel. Tapi nyatanya, Allah kasih saya jalan yang baik.”

Aku masih terheran-heran tetapi mendengarkan dengan hati-hati.

“Aku mengajar di Aceh untuk mengabdi menjadi guru sukarela selama dua tahun dan tahu-tahu sudah ada di sini. Tadinya saya pikir bakalan menghabiskan banyak waktu sia-sia di sekolah orang-orang kaya ini.” Dia melanjutkan ceritanya.

Mirip-mirip dengan apa yang aku rasakan ya? Aku pikir.

“Nyatanya, ada tujuan lain Allah menunjukan saya ke sekolah ini.” Dia menambahkan.

“Karena mereka membutuhkan kita?” Aku bertanya.

“Iya! Karena kita diberikan kesempatan yang berbeda untuk bisa mengabdikan kemampuan kita, dengan cara kita. Cara yang datang dari pengalaman hidup pribadi. Bahwa ada anak-anak di sekolah ini yang memiliki kekosongan. Mungkin, tugas kita adalah mengisinya.” Dia menjelaskan.
Aku menatapnya dengan penuh kontemplasi.

“Tapi, saya tidak pernah bercerita jika keluarga saya ada masalah, Pak.” Aku tiba-tiba memotong.
“Saya hanya bercerita tentang saya sendiri, tidak pernah bermaksud menghubungkan tentang pengalam pribadi mas nya.” Beliau merespon.

“Tadi, saya dengar dari sekitar kelas 11 IPS bahwa guru bahasa Inggris baru nya seru. Semoga betah ya! Biar mereka gak ganti-ganti gurunya.” Dia menyarankan.

“Insya Allah, Pak.” Aku menjadi lebih bersemangat.

“Galih! Saya mengajar kelas 11 juga.” Dia mengenalkan dirinya.

“Saya Achdi, Pak. Mohon bimbingannya ya.” Saya mencoba untuk rendah diri.

“Bimbingan apa mas haha…” Dia tertawa.

“Mas nya lebih senior dari saya, jadi saya harusnya yang bilang begitu.”

Iya, tampaknya beliau ini lebih muda dari saya. Tampak baru saja lulus kuliah.

“Saya masuk kelas dulu ya! Jika ada yang perlu dibantu, saya di ruang guru satu lagi. Main-main lah ke sana biar kenal semua guru.”

“Insha Allah, Pak. Terima kasih!”

Aku tersenyum.

Aku mulai berpikir kembali tentang tujuan ku sebagai seorang guru. Apa iya harus sesuai dengan idealism semasa kuliah dulu? Apa ini adalah jalan yang diberikan oleh tuhan agar aku bisa belajar lebih dibandingkan dengan cita-cita ku?

Aku melihat ke sekliling di ruang guru itu. Wajah-wajah penuh semangat yang siap mendedikasikan ilmu nya pada siswa-siswa yang memiliki kebutuhan tersendiri di sekolah ini. Shunya yang perlu diisi oleh hangatnya kasih sayang dan ilmu yang bermanfaat untuk masa depan mereka nanti.

Semangat ku bangkit lagi.

Aku memiliki tujuan baru yang positif untuk mengajar di sekolah ini. Aku tidak tahu apa nanti kontribusi ku, tetapi tidak hanya mengajar tentunya, tetapi menjadi bagian yang dapat mengisi kekosongan mereka. Mungkin aku bisa belajar juga untuk mengisi kekosongan ku dari mereka.

Bel jam kelima berdering nyaring. Aku tersenyum dan segera bersiap menuju kelas baru.


27 comments:

  1. Wah pak guru di sekolah baru. Pakai kacamata lagi.

    Salam kenal Pak Achi..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Achdi ya mbak dengan D :) Salam kenal kembali

      Delete
  2. Memang guru pilihan ini. Aku betah loh mas bacain tulisannya tanpa tertinggal titik koma satu pun. Wkwkwk. Semoga betah ya mas mengajarnya. Saya jadi berasa lagi nonton GTO atau Gokusenn euy. Seru seru ya pengalaman menjadi guru itu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul mbak menjadi seseorang atau sesuatu itu pilihan hidup, saya setuju.
      Terima kasih sudah berkunjung :)

      Delete
  3. Salut sama pak guru. MasyaAllah. Mudah-mudahan dibalas dengan kebaikan yang banyak yaa Pak.
    3x ikutan BW ketemu sama ceritanya pak achdi keren euy.

    ReplyDelete
  4. Selamat datang pak guru baru. Semoga ilmunya berkah ya. Salam kenal dari bu guru...

    ReplyDelete
  5. Menurut saya mengajar anak ABG jauh lebih sulit daripada anak TK-SD. ABG zaman now ada ngeyelnya, guru harus pinter-pinter berkomunikasi. Semangat Mister Ach...Semoga betah...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Malah kebalikannya, untuk saya pribadi mbak Han. Pernah saya mengajar SD dulu, sungguh rumit terutama menghadapi kebutuhan anak yang sangat beragam, apalagi anak-anak, ndak sanggup. Oleh karenanya saya sangat menghargai dan acungkan dua jempol untuk guru-guru yang mengajar di Playgroup, TK, serta SD. Mereka luar biasa.

      Delete
  6. Setelah baca narasi dan baca kolom komen, jadi terharu buat niat Dan perjuangan teman2 guru.
    Semangat terus Mr.Ah dan juga untuk guru di seluruh dunia..semoga bisa mengisi kekosongan dan menginspirasi utk murid2nya

    ReplyDelete
  7. Ini satu hari yang sama dimana pak guru memperkenalkan diri...mulai mengajar... banyak juga ya ceritanya.. gmana nanti kalau setahun.. penuh sharing pengalaman nich..seru.. btw memamg masih berniat mengajar ke pedalaman.. ga takut pak?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul mas, banyak ceritanya, suka dan duka, apalagi belum punya banyak pengalaman, mengandalkan PD haha

      Delete
  8. Pas baca judulnya "shunya" jadi kepikiran ini artikel bahas soal apa? Ternyata storytelling tentang pengalaman mengajar yang sangat sangat menarik untuk dibaca.

    ReplyDelete
  9. Pak guruu...barakallah semoga dimudahkan ngajar mereka ya. Inget pengalaman dulu dan tmn2 yg sama ngajar anak yg sgt berkecukuoan itu memang hatinya banyaj yg kosong.

    But tmn mas ah keren jg nasehatnya
    "
    Kalau saya mengikuti alur dengki dan amarah saya dulu, mungkin saya sudah hidup gak bener. Jadi gembel. Tapi nyatanya, Allah kasih saya jalan yang baik."

    ReplyDelete
  10. sy ngajr mahasiswa.lbh gampang karna sdh bisa diajak omong secara org dewasa walaupun mrka pnya mslh dirmh tapi bisa dimotivasi bahwa mrka hrs berjuang cepat selesai kuliah spya bisa survive ke dpnnya.. klo ngjr anak sma masih labil ya jiwa abg nya . .jd hrs lbh sabar dan ekstra telaten hehe

    ReplyDelete
  11. Banyak kisah dari berbagai sisi ya yang bisa didapat.Semakin bisa belajar banyak hal.

    ReplyDelete
  12. Murid jaman sekarang pada berani-berani ya mas. Pake ngerjain gurunya bilang dia murid si bapak guru itu ternyata bukan. Pake nego jangan susah2 tugasnya dan sebagainya. Dulu tahun 90an saya kalau ketemu guru apalagi guru itu galak, saya musti menundukkan kepala. Takut gurunya ingat wajah saya trus saya disuruh maju ke depan kelas disuruh kerjakan soal..wkwkwkwk.

    ReplyDelete
  13. Mantap mister ah, menjadi guru abg memang banyak tantangannya. Tetap semangat dan jangan lupakan tujuan awalmu menjadi seorang guru.

    ReplyDelete
  14. Deg2an seorang pengajar saat masuk ke kelas baru ternyata mirip2 ya. Saya pun demikian. Isinya the have. Semoga mereka tetap mendengarkan saya kalau saya mengajar.

    ReplyDelete
  15. Saya jadi inget tausiah seorang teman bahwa jadi guru itu semuanya mendoakan kebaikan, termasuk ikan di lautan dan semut dalam tanah. Selamat mengemban amanah ya Pak,

    ReplyDelete
  16. Saya blm pernah jd guru kayaknya ga sabaran haha
    Btw ni kisah nyata ya. Saya juga agak susah memulai percakapan, kl jumpa org yg setipe biasanya saya tinggal haha
    Kidding

    ReplyDelete
  17. WAh, keren banget pasti, suasana di sekolah. Agak jarang ada guru yang semangat sekali. Kebanyakan hanya menggugurkan tugas. Kaku dan entah bagaimana menjelaskannya. Tapi tetap saja ada guru yang sangat passionate dalam mengajar.

    Saya membaca kisah ini (kelihatannya nyata) dengan rasa penasaran, seperti apa kehidupan guru nyaman sekarang.

    ReplyDelete
  18. cerita yang apik
    teringat masa-masa sekolah
    teringat guru-guruku di sana

    dulu citacita saya pengen jadi guru lho

    ReplyDelete
  19. Kak. Tambahin foto2 dongm biar aku bisa lbh midah membayangkan cerota kaka ini.. Seru seru soalnya

    ReplyDelete

Silahkan tinggalkan pesan atau komentar yang membangun untuk penulisan/karya yang lebih baik. Terima kasih.

Powered by Blogger.