Shunya
Pagi itu sungguh adalah salah satu pagi tidak ternyaman yang aku rasakan. Dari lepas shalat subuh, aku merasa mual dan gelisah.
Itu adalah hari pertama ku
mengajar di sekolah.
Aku percaya diri dengan
modal besar ku selama mengajar empat tahun di bimbingan belajar.
Aku percaya diri dengan
kemungkinan pertanyaan-pertanyaan tentang materi kebahasa-Inggrisan yang
ditanyakan sebagai bahan percobaan intelektualitas ku sebagai guru nanti di
kelas.
Aku percaya diri aku akan
dapat masuk ke dalam ruang remaja mereka karena usia ku pun tidak terpaut jauh
dan, dari pengalaman ku, banyak dari mereka yang sering curhat di luar kelas
atau di facebook.
Ya, aku percaya diri.
Tetapi tidak kerasan dengan apa yang aku rasakan sebelum masuk kelas. Apa aku
berusaha untuk percaya diri? Entah.
Tiba d sekolah tepat pukul
6.30 pagi.
Aku menuju meja ku, yang
secara tak enak hati, telah memindahkan satu guru senior di dekat pintu masuk.
Sebagai orang dewasa, aku
memiliki kecenderungan tidak pernah tahu untuk memulai percakapan. Aku masuk
ruang guru, mengucapkan salam, lalu ragu untuk menyapa siapa pun. Aku duduk dan
pura-pura menyibukan diri untuk mempersiapkan mengajar di jam ke-3 dan ke-4 di kelas
11 Sosial nanti.
Bel berdering menandakan
apel pagi di lapangan depan lobi dilaksanakan.
“Ayo, Pak, kita apel pagi
di lantai satu.” Salah satu guru perempuan, paruh baya dan tampak ramah
sekaligus tegas, mengajak ku dengan tersenyum.
“Baik, Bu!” Aku mengangguk
tanda setuju.
Selama perjalanan kurang
lebih dua menit hingga menuju lapangan apel, beliau menceritakan secara singkat
tentang apa yang beliau pelajari sebagai guru selama di sekolah berasrama.
Tiba di lapangan apel,
para guru berbaris rapi, dipimpin oleh satu guru muda dan seorang lagi adalah
seorang wakil kepala sekolah bidang Kurikulum. Di satu sisi lapangan lainnya,
para siswa berbaris dengan enggan, tampaknya kelas dua belas dan sebagian kelas
sebelas, lainnya kelas sepuluh yang masih tampak polos dan sudah rapi di
samping barisan guru. Barisan puluhan siswa tersebut dipimpin oleh wakil kepala
sekolah bidang kesiswaan dan didampingi oleh staf nya.
Kami mulai dengan membaca
do’a dan dilanjutkan dengan pengumuman penting yang akan berlangsung di hari
tersebut. Ada pun kabar guru yang tidak masuk dan kegiatan-kegiatan terdekat
yang melibatkan banyak tenaga guru, sehingga harus ada persiapan matang.
“Pak Achdi, silahkan maju
ke depan untuk perkenalan.” Seorang guru perempuan di depan kami meminta dengan
ramah.
Aku tidak suka perkenalan.
Rasanya seperti pertama kali masuk sekolah dan menjadi manusia yang akan banyak
kesulitan untuk berkata hal-hal sederhana. Sungguh, aku selalu memiliki
kekhawatiran yang tidak perlu ketika harus berbicara di depan umum. Tetapi itu
hanya terjadi ketika audiens ku
adalah orang-orang dewasa, atau seumuran; bukan siswa.
Aku meneguhkan hati dan
lulus ujian pertama sebagai rekan kerja para guru hebat ini. Minimal aku pikir
begitu.
Apel selesai!
Dari jam pertama hingga
kedua, aku benar-benar mempersiapkan materi ku nanti di kelas Sosial. Banyak
guru biasanya memahami bahwa mengajar di program Sosial adalah sebuah tantangan
besar, bagaimana pengelolaan kelas dan siswa, bagi seorang guru sangat diperhitungkan.
Aku harus mampu.
“Ngajar di kelas mana,
Pak?” Salah seorang guru pria menepuk pundak ku dari belakang. Aku kaget.
“Di kelas 11 IPS 1, Pak.”
Aku jawab dengan canggung.
“Jangan tegang-tegang,
Pak. Santai saja. Mereka seru-seru koq.” Beliau menyarankan.
“Bapak sudah pernah
mengajar mereka?” Aku penasaran.
“Dulu waktu mereka kelas
sepuluh. Ya, waktu kelas sepuluh sih masih lucu-lucu ya.” Beliau tersenyum
mengingat masa-masa di tahun lalu.
“Yang betah ya, Pak!
Kasihan juga mereka kalau guru nya ganti-ganti terus.” Beliau menambahkan.
Buset!
Ganti-ganti? Pada kemana guru nya kalau ganti-ganti terus? Apa mereka gak
betah? Apa mereka dipecat? Apa anak-anak nya yang buat guru nya tidak kerasan?
Apa teman-teman gurunya yang tidak mendukung dan membantu? Apa???
Begitulah! Aku tipe orang
yang langsung mendramatisasi segala hal, sehingga belum mengajar dimulai, sudah
banyak cerita buruk di dalam kepala. Seperti melihat ke masa depan dengan
berbagai kemungkinan.
“Saya duluan ya, Pak.”
Beliau pergi meninggalkan ruangan.
Aku perlu pergi ke toilet.
Aku butuh mencuci muka ku. Aku butuh udara segara dan melihat rerumputan atau
dedaunan hijau.
Bel jam ketiga berdering. Aku
menghela nafas dalam dan panjang, berharap semua negatifitas tadi menguap
menjadi karbondioksida.
Aku berangkat ke luar
ruang guru dengan membawa tas gendong dan menjinjing buku absen di tangan kanan
ku.
Aku melihat seorang siswa putri
berjalan berlawanan arah, baru keluar dari pantry
sekolah.
“Dek, kelas 11 IPS 1 di
sebelah mana, ya?” Aku bertanya dengan sigap.
“Bapak guru baru ya? Itu
kelas aku loh. Yuk, barengan ke kelas nya.” Dia dengan ramah mengajak ku
berjalan bersama.
“Bapak namanya siapa?
Ngajar apa?” Dia bertanya dengan antusias.
“Saya Achdi. Saya ngajar
Bahasa Inggris.”Aku merespon.
“Pasti susah! Ntar jangan
galak-galak ya. Terus, jangan banyak tugas sama PR.” Dia mencoba bernegosiasi.
“Nah, itu kelas 11 IPS 1.
Aku di kelas 11 IPS 2. Dadah Bapak.” Dia pergi meninggalkan ku lebih awal.
Belum apa-apa sudah
dibohongi siswa.
Dari dalam kelas, aku
mendengar dia berteriak, “Woy, guru Bahasa Inggrisnya baru!”
Aku menggelengkan kepala
sembari tersenyum kecil. Minimal, aku pikir, mereka senang dengan ada guru
baru, tidak muram, jutek, dan acuh.
Beberapa langkah menuju
kelas 11 IPS 1, aku melihat dua orang siswa ke luar dari kelas.
“Bapak ngajar di sini?”
Seorang siswa pria dengan tinggi sektar 170 cm dengan rambut agak kribo
bertanya ramah.
“Iya! Ini 11 IPS 1 kan
ya?” Aku mengkonfirmasi.
“Woy, guru nya udah
datang!” Dia berteriak diikuti oleh seorang siswa putri di belakangnya, lalu
duduk di tengah di antara siswa-siswa lainnya.
“Assalammualaikum?” Aku
menyapa dengan lantang. Aku memaksakan senyum ku.
Walaikumsalam….
Banyak dari mereka yang
menjawab dan sebagian masih tampak enggan untuk mengangkat seluruh badannya
untuk duduk rapi di kursinya. Lemas dan acuh.
“Bapak guru baru ya? Kenapa
mau mengajar di sekolah ini, Pak?” Seorang siswa putri tiba-tiba penasaran.
“Bapak hari ini kita
kenalan aja kan ya? Gak belajar dulu? Kita kan belum saling kenal?” Siswi
lainnya berseru dari kursi kedua di depan di sebelah kiri.
“Bapak cerita-cerita dong!
Ga usah lah kita belajar! Bosen belajar terus!” Yang satu siswi ini menguatkan
permintaan teman-teman lainnya.
Aku menyimpan tas gendong
ku di atas meja guru. Ku angkat kursi guru dan membawa nya ke depan tengah
kelas membelakangi papan tulis.
“OK! Saya absen dulu ya
biar saya bisa memanggil nama kalian masing-masing, gimana?” Aku meminta
persetujuan.
“Mantap, Bos ku!” Seorang
siswa menyetujui. Yang lain tampak kegirangan karena hari itu tidak ada
pembelajaran.
“Nama saya Achdi
Merdianto.” Aku menuliskan nama di depan papan tulis.
“Saya sewaktu di tempat
kerja sebelumnya dipanggi dengan Kak Achdi, Kak AM, Pak AM, Pak Achdi, kalau
kalian kira-kira mau manggil saya dengan nama apa?” Aku bertanya.
“Pak Ah.” Salah satu siswa
dari belakang menyahut.
Siswa lainnya tertawa
menyetujui.
“Mister Ah?” Salah satu
siswa memberikan pilihan.
Disepakati lah Mister Ah.
Aku bercerita tentang kota
asal, kuliah dulu, pengalaman mengajar dari semenjak kuliah, mengajar bimbel sebelum
mengajar di sekolah ini, hingga alasan yang membuat ku melamar ke sekolah
mereka, yang tampaknya tidak mereka banggakan.
Hampir seluruh siswa di
sekolah ini adalah siswa dengan kemampuan ekonomi atas. Sehingga mereka dapat
dengan mudah menentukan sekolah yang mereka inginkan tanpa berpikir tentang
besaran biaya. Semua kebutuhan dan keinginan dengan mudah mereka ajukan pada
orang tua. Apapun mudah.
Aku mulai ragu akhirnya
untuk menentukan bahwa sekolah ini adalah sekolah yang ingin ku dedikasikan
kemampuan ku sebagai guru.
Cita-cita ku adalah
menjadi guru bagi yang benar-benar dibutuhkan, mungkin tidak dengan mereka ini,
yang bisa dengan mudah menyepelekan semua proses pembelajaran karena pada
akhirnya mereka memilki kuasa dan harta.
Beberapa dari mereka
sepertinya tidak pernah mau berniat sekolah berasrama, tidak bebas, terpaksa
karena orang tua.
Sepanjang jam ketiga
hingga keempat, tidak terasa sembilan puluh menit sudah berakhir. Bel berdering
menunjukan waktu istirahat pertama.
Aku keluar kelas dengan
sedikit berat hati.
Anehnya, kelas tadi
menyenangkan.
Di pertemuan awal mereka
tahu apa yang mereka inginkan. Kita setuju dengan apa yang kita lakukan selama
proses pembelajaran nanti. Mereka siap menerima ku sebagai guru bahasa Inggris
baru mereka. Tampaknya aku pun tidak menemukan kesulitan berbaur dengan mereka.
Dari sikap yang ditunjukan, banyak hal positif yang aku terima. Tetapi di sisi
lain, ada keraguan tadi yang tiba-tiba menggangu.
Untuk
apa kamu mengajar yang banyak orang kaya nya?
Dulu
kamu ingin sekali mengajar di pedalaman karena kamu merasa bisa lebih berguna
jika mengajar siswa yang kurang mampu?
Serasa ditampar oleh
ambisi masa kuliah dulu, selama jam istirahat pertama, aku termenung,
memikirkan kembali keberadaan ku di sekolah ini.
Ketika aku kembali menuju
ke ruang guru, aku mendengar teriakan histeris dari arah kelas 11 IPS.
Ada
apa?
Beberapa siswa berkurumun
di depan kelas tersebut. Beberapa guru menghampiri dan membubarkan kerumunan
siswa. Tampak dari kejauhan, salah satu siswa putri membopong satu siswi lainnya
yang terkulai lemas menuju ruang UKS.
Itu kan Laras, siswi putri yang tadi bersama
saya di kelas 11 IPS 1. Dia tadi ceria dan tampak tidak ada masalah.
Kenapa?
Masuk ke ruang guru,
beberapa guru sudah berkumpul mendiskusikan tentang kejadian beberapa menit
yang lalu.
Aku duduk dan ikut
mendengarkan.
Masalah keluarga.
Laras adalah siswa dengan
masalah keluarga yang teramat rumit. Dia rapuh. Psikisnya tidak stabil. Ketika
bersama teman-teman sekelasnya, dia akan tampak ceria. Karena dia bisa bercerita
dan mendengarkan banyak hal. Ketika waktu istirahat, dia terkadang tidak ingin
ikut ke kantin dan lebih memilih untuk di kelas. Kadang satu waktu, dia hanya
duduk di samping jendela dan menatap kosong ke luar.
Menikmati
angin dari lantai dua.
Begitu katanya ketika
pernah diceritakan oleh salah satu kawannya.
Terkadang, dia menangis
tersedu-sedu, lalu berjalan perlahan menuju toilet perempuan. Dia mengunci diri
nya sendiri hingga beberapa waktu. Pernah hingga satu jam.
Kenapa
kamu lama sekali di toilet, nak?
Entah
lah, Bu! Saya hanya ingin mencari ruangan untuk menangis.
Aku termenung, mencoba
mendapatkan informasi sebanyak mungkin.
“Ingat gak ketika si Ilham?
Yang duduk di pojokan sambil garuk-garuk kepala hingga kulit kepalanya lecet.
Aku pikir kemasukan. Taunya, masalah keluarga!” Sambung satu guru.
“Pernah juga waktu saya
mengajar di kelas 11 IPA 2. Waktu itu ibu nya datang untuk bertemu, tapi dia
nolak gak mau, sampe keluar kelas dan sembunyi di toilet kolam renang.
Denger-denger orang tua nya mau bercerai dan dia gak mau lihat wajah orang
tuanya. Selama di kelas, dia ga menunjukan sikap aneh.” Tambah satu guru di
sebelah kanan.
“Ya, anak-anak kita itu
banyak bermasalah di keluarganya. Ada yang senang di asrama jadinya jauh dari
kemelut konflik keluarga, ada yang merasa dibuang karena masalah keluarganya,
ada juga yang memang benar-benar agar anak mereka bisa belajar mandiri dengan
sekolah asrama.” Satu guru di sebelah ku berkata.
Aku terenyuh mendengar
beberapa informasi yang mengkhawatirkan. Di balik senyum dan canda mereka tadi
di kelas, beberapa, atau mungkin banyak di antara mereka yang menutupi aib,
masalah, serta kerapuhan jiwa yang mereka miliki.
Aku terdiam.
Aku melihat ke luar
jendela dan mendapatkan beberapa siswa sedang asyik berkumpul dengan tangan
penuh oleh jajanan.
Mereka tampak tertawa
lepas dan bercerita satu sama lainnya.
Aku kembali memusatkan
mata dan telinga ku kepada guru-guru yang asik bercerita tentang pengalaman
mereka dengan berbagai konflik yang dialami oleh siswa di sekolah ini.
“Yang paling sedih sih
yang kemarin itu,” seorang guru mungil yang duduk di samping meja dekat pintu
mulai bercerita, “Iya, yang anaknya ketahuan merokok di luar sekolah.”
“Waktu di ruang rapat,
ketika orang tua nya dipanggil karena anaknya merokok, mereka ga terima kenapa
anak mereka jadi perokok setelah masuk sekolah ini.”
“Kena batunya ya sekolah
kita.” Satu guru pria yang berdiri membelakangi papan pengumuman menambahkan
dengan cepat.
“Tapi anaknya langsung
jawab. Enggak Yah, sudah dari SMP merokoknya. Ayah aja yang gak pernah di rumah
dan gak peduli.”
“Padahal ayahnya sempat
marah-marahin kepala sekolah dan wali kelasnya. Setelah anaknya bilang gitu,
dia mau sendiri. Dia langsung nangis dan minta maaf sama sekolah dan terutama
anaknya. Ibunya hanya diam dan menangis.”
“Iya, ya, terkadang, ada
saja orang tua yang langung menyalahkan sekolah tanpa tahu sejarah anaknya
sendiri. Ini untung anaknya jujur, kalo enggak ya sekolah yang repot. Kayak
kita guru-guru gak ngapa-ngapain gitu. Apalagi kalaa sudah bawa-bawa kan sudah bayar mahal-mahal, masa yang kayak
gini aja gak bisa ngurus. Sedih aku!”
Aku menyimak dengan baik
setiap cerita yang diberitakan.
Kemudian seorang guru
lelaki, baru datang dengan secangkir kopi yang harumnya memecahkan keseriusan
di dalam ruang guru.
Semua mata menoleh
sebentar kepada beliau dan lalu melanjutkan cerita mereka.
Guru dengan secangkir kopi
harum tersebut menarik satu kursi di sebelah ku. Beliau mulai berbisik dan menyamarkan
suaranya hingga hanya aku dapat mendengarkan apa yang hendak beliau ceritakan.
Beliau berbisik,
“Saya juga datang dari
keluarga yang tidak seperti sebuah keluarga. Tapi hidup orang ya beda-beda
nasib. Ayah saya pergi entah kenapa, menelantarkan keluarganya. Ibu berjuang
sendirian menafkahi dan menyekolahkan anak-anaknya. Beruntung saya masih ada
niat sekolah agak tinggian sampe kuliah di UPI sehingga bisa jadi guru kayak
sekarang.” Dia tersenyum lirih.
Aku terkejut tiba-tiba
kenapa beliau ini bercerita begitu banyak tentang keluarganya.
“Kalau saya mengikuti alur
dengki dan amarah saya dulu, mungkin saya sudah hidup gak bener. Jadi gembel.
Tapi nyatanya, Allah kasih saya jalan yang baik.”
Aku masih terheran-heran
tetapi mendengarkan dengan hati-hati.
“Aku mengajar di Aceh
untuk mengabdi menjadi guru sukarela selama dua tahun dan tahu-tahu sudah ada
di sini. Tadinya saya pikir bakalan menghabiskan banyak waktu sia-sia di
sekolah orang-orang kaya ini.” Dia melanjutkan ceritanya.
Mirip-mirip
dengan apa yang aku rasakan ya? Aku pikir.
“Nyatanya, ada tujuan lain
Allah menunjukan saya ke sekolah ini.” Dia menambahkan.
“Karena mereka membutuhkan
kita?” Aku bertanya.
“Iya! Karena kita
diberikan kesempatan yang berbeda untuk bisa mengabdikan kemampuan kita, dengan
cara kita. Cara yang datang dari pengalaman hidup pribadi. Bahwa ada anak-anak
di sekolah ini yang memiliki kekosongan. Mungkin, tugas kita adalah
mengisinya.” Dia menjelaskan.
Aku menatapnya dengan
penuh kontemplasi.
“Tapi, saya tidak pernah
bercerita jika keluarga saya ada masalah, Pak.” Aku tiba-tiba memotong.
“Saya hanya bercerita
tentang saya sendiri, tidak pernah bermaksud menghubungkan tentang pengalam
pribadi mas nya.” Beliau merespon.
“Tadi, saya dengar dari
sekitar kelas 11 IPS bahwa guru bahasa Inggris baru nya seru. Semoga betah ya!
Biar mereka gak ganti-ganti gurunya.” Dia menyarankan.
“Insya Allah, Pak.” Aku
menjadi lebih bersemangat.
“Galih! Saya mengajar
kelas 11 juga.” Dia mengenalkan dirinya.
“Saya Achdi, Pak. Mohon
bimbingannya ya.” Saya mencoba untuk rendah diri.
“Bimbingan apa mas haha…”
Dia tertawa.
“Mas nya lebih senior dari
saya, jadi saya harusnya yang bilang begitu.”
Iya, tampaknya beliau ini
lebih muda dari saya. Tampak baru saja lulus kuliah.
“Saya masuk kelas dulu ya!
Jika ada yang perlu dibantu, saya di ruang guru satu lagi. Main-main lah ke
sana biar kenal semua guru.”
“Insha Allah, Pak. Terima
kasih!”
Aku tersenyum.
Aku mulai berpikir kembali
tentang tujuan ku sebagai seorang guru. Apa iya harus sesuai dengan idealism
semasa kuliah dulu? Apa ini adalah jalan yang diberikan oleh tuhan agar aku
bisa belajar lebih dibandingkan dengan cita-cita ku?
Aku melihat ke sekliling
di ruang guru itu. Wajah-wajah penuh semangat yang siap mendedikasikan ilmu nya
pada siswa-siswa yang memiliki kebutuhan tersendiri di sekolah ini. Shunya yang
perlu diisi oleh hangatnya kasih sayang dan ilmu yang bermanfaat untuk masa
depan mereka nanti.
Semangat ku bangkit lagi.
Aku memiliki tujuan baru
yang positif untuk mengajar di sekolah ini. Aku tidak tahu apa nanti kontribusi
ku, tetapi tidak hanya mengajar tentunya, tetapi menjadi bagian yang dapat
mengisi kekosongan mereka. Mungkin aku bisa belajar juga untuk mengisi
kekosongan ku dari mereka.
Bel jam kelima berdering
nyaring. Aku tersenyum dan segera bersiap menuju kelas baru.
Wah pak guru di sekolah baru. Pakai kacamata lagi.
ReplyDeleteSalam kenal Pak Achi..
Achdi ya mbak dengan D :) Salam kenal kembali
DeleteMemang guru pilihan ini. Aku betah loh mas bacain tulisannya tanpa tertinggal titik koma satu pun. Wkwkwk. Semoga betah ya mas mengajarnya. Saya jadi berasa lagi nonton GTO atau Gokusenn euy. Seru seru ya pengalaman menjadi guru itu.
ReplyDeleteBetul mbak menjadi seseorang atau sesuatu itu pilihan hidup, saya setuju.
DeleteTerima kasih sudah berkunjung :)
Salut sama pak guru. MasyaAllah. Mudah-mudahan dibalas dengan kebaikan yang banyak yaa Pak.
ReplyDelete3x ikutan BW ketemu sama ceritanya pak achdi keren euy.
Amin,
DeleteTerima kasih banyak mbak Jihan :)
Selamat datang pak guru baru. Semoga ilmunya berkah ya. Salam kenal dari bu guru...
ReplyDeleteIni certa tahun 2011 bu :D
DeleteMenurut saya mengajar anak ABG jauh lebih sulit daripada anak TK-SD. ABG zaman now ada ngeyelnya, guru harus pinter-pinter berkomunikasi. Semangat Mister Ach...Semoga betah...
ReplyDeleteMalah kebalikannya, untuk saya pribadi mbak Han. Pernah saya mengajar SD dulu, sungguh rumit terutama menghadapi kebutuhan anak yang sangat beragam, apalagi anak-anak, ndak sanggup. Oleh karenanya saya sangat menghargai dan acungkan dua jempol untuk guru-guru yang mengajar di Playgroup, TK, serta SD. Mereka luar biasa.
DeleteSetelah baca narasi dan baca kolom komen, jadi terharu buat niat Dan perjuangan teman2 guru.
ReplyDeleteSemangat terus Mr.Ah dan juga untuk guru di seluruh dunia..semoga bisa mengisi kekosongan dan menginspirasi utk murid2nya
Amin, semoga
DeleteIni satu hari yang sama dimana pak guru memperkenalkan diri...mulai mengajar... banyak juga ya ceritanya.. gmana nanti kalau setahun.. penuh sharing pengalaman nich..seru.. btw memamg masih berniat mengajar ke pedalaman.. ga takut pak?
ReplyDeleteBetul mas, banyak ceritanya, suka dan duka, apalagi belum punya banyak pengalaman, mengandalkan PD haha
DeletePas baca judulnya "shunya" jadi kepikiran ini artikel bahas soal apa? Ternyata storytelling tentang pengalaman mengajar yang sangat sangat menarik untuk dibaca.
ReplyDelete👍👍
ReplyDeletePak guruu...barakallah semoga dimudahkan ngajar mereka ya. Inget pengalaman dulu dan tmn2 yg sama ngajar anak yg sgt berkecukuoan itu memang hatinya banyaj yg kosong.
ReplyDeleteBut tmn mas ah keren jg nasehatnya
"
Kalau saya mengikuti alur dengki dan amarah saya dulu, mungkin saya sudah hidup gak bener. Jadi gembel. Tapi nyatanya, Allah kasih saya jalan yang baik."
sy ngajr mahasiswa.lbh gampang karna sdh bisa diajak omong secara org dewasa walaupun mrka pnya mslh dirmh tapi bisa dimotivasi bahwa mrka hrs berjuang cepat selesai kuliah spya bisa survive ke dpnnya.. klo ngjr anak sma masih labil ya jiwa abg nya . .jd hrs lbh sabar dan ekstra telaten hehe
ReplyDeleteBanyak kisah dari berbagai sisi ya yang bisa didapat.Semakin bisa belajar banyak hal.
ReplyDeleteMurid jaman sekarang pada berani-berani ya mas. Pake ngerjain gurunya bilang dia murid si bapak guru itu ternyata bukan. Pake nego jangan susah2 tugasnya dan sebagainya. Dulu tahun 90an saya kalau ketemu guru apalagi guru itu galak, saya musti menundukkan kepala. Takut gurunya ingat wajah saya trus saya disuruh maju ke depan kelas disuruh kerjakan soal..wkwkwkwk.
ReplyDeleteMantap mister ah, menjadi guru abg memang banyak tantangannya. Tetap semangat dan jangan lupakan tujuan awalmu menjadi seorang guru.
ReplyDeleteDeg2an seorang pengajar saat masuk ke kelas baru ternyata mirip2 ya. Saya pun demikian. Isinya the have. Semoga mereka tetap mendengarkan saya kalau saya mengajar.
ReplyDeleteSaya jadi inget tausiah seorang teman bahwa jadi guru itu semuanya mendoakan kebaikan, termasuk ikan di lautan dan semut dalam tanah. Selamat mengemban amanah ya Pak,
ReplyDeleteSaya blm pernah jd guru kayaknya ga sabaran haha
ReplyDeleteBtw ni kisah nyata ya. Saya juga agak susah memulai percakapan, kl jumpa org yg setipe biasanya saya tinggal haha
Kidding
WAh, keren banget pasti, suasana di sekolah. Agak jarang ada guru yang semangat sekali. Kebanyakan hanya menggugurkan tugas. Kaku dan entah bagaimana menjelaskannya. Tapi tetap saja ada guru yang sangat passionate dalam mengajar.
ReplyDeleteSaya membaca kisah ini (kelihatannya nyata) dengan rasa penasaran, seperti apa kehidupan guru nyaman sekarang.
cerita yang apik
ReplyDeleteteringat masa-masa sekolah
teringat guru-guruku di sana
dulu citacita saya pengen jadi guru lho
Kak. Tambahin foto2 dongm biar aku bisa lbh midah membayangkan cerota kaka ini.. Seru seru soalnya
ReplyDelete