Tanpa Tujuan
“I wish you were here,
But you are not here, you are there,
And there doesn’t know how lucky it is.”
Masih terlentang
menatap langit-langit yang berbentuk seperti tatami[1],
ku melihat menembus kegelapan yang terpecahkan oleh terompet-terompet
mungil di luar kamar ku. Aku bernafas perlahan dan mulai mengambil posisi
duduk, lalu menghela nafas panjang. Hari ini aku tidak mendapatkan keajaiban
untuk mengingat mimpi ku semalam. Siapa tahu aku menemukan mu di sana karena
semalam wajah mu menghiasi jejaring sosial ku. Di sana kau duduk bersila dengan
senyum bocah mu yang hangat, tetapi tanpa melihat ku. Kau menerawang jauh ke arah
pepohonan yang membelah taman di sebuah pekarangan rumah mungil berlantaikan
marmer merah dan beberapa pot tanaman tropis tanpa bunga.
Tampaknya pagi
ini aku butuh membasuh muka ku dan menyeduh satu gelas teh mint hangat. Aku membuka tirai dan matahari masih belum tampak. Di
luar hanya awan kelabu dan angin yang bertiup diantara dedaunan dan ranting
pepohonan yang terseok lemah mengikuti arahnya. Tetapi aku yakin tidak akan
hujan, hanya saja sebuah kemalasan alam menuju pergantian tahun. Beberapa buah
manggis dan rambutan berjatuhan dan beberapa anak tetangga berkumpul untuk
memanen, beberapa lagi sedang sibuk mengangkat satu batang bambu untuk meraih
bebuahan yang jauh di ujung ranting atas. Lalu aku membuka pintu dan
terkagum-kagum dengan keramaian pagi ini. Yang lainnya menyemangati dengan
tiupan terompet yang seharusnya untuk malam pergantian tahun baru nanti malam.
Aku teringat
masa kecil ku ketika aku masih mampu memanjat pohon jambu air dan menikmati
buahnya di atas pohon, lalu bergelantungan seperti lutung dan terjun di atas
kolam ikan nenek ku di kampung. Lalu nenek ku akan berteriak, “Budak teh balangor, kumaha mun cilaka? Hayoh,
geura marandi![2]”
Aku menguap
hebat.
Lalu seorang
anak kecil di atas pohon berteriak, “Ah, si om baru bangun!” dan mengundang
anak-anak lainnya menengok ke arah ku, lalu mereka tertawa kecil.
Aku tersenyum. “Awas
jatuh!” Aku memperingatkan.
Untuk beberapa
kasus, mungkin aku rindu menjadi seorang bocah yang begitu bahagia dengan
berbagai permainan dan kekacauan yang selalu dibuat oleh komunitas bocah
pecinta lapangan. Tapi aku benci ketika pendapat seorang anak hanya sebuah
suara yang hanya dianggap sebuah rengekan.
# It’s too late to apologize, it’s too late… #
Telepon genggam
ku bordering. Aku lupa dimana aku menyimpannya tadi malam sebelum aku tidur.
Aku mencari arah suara dan menemukannya di sebelah helm antara kipas angin dan
dispenser di ruang depan. Ibu ku.
Belai
bertanya heran mengapa aku tidak pulang ke Sukabumi dan aku hanya menjawab
sekenanya bahwa sedang malas, apalagi mengingat perjalanannya. Tak terlalu
jauh, tetapi ketika mood sedang tidak
baik, jangan harap aku akan mau ke luar rumah. Apalagi ditambah dengan tidak
beroperasi satu-satunya kereta paling vintage
Bumi Geulis Bogor-Sukabumi hingga tanggal hari ini, 31 Desember 2012.
Karena ibu tahu aku biasanya menghabiskan malam tahun baru di pantai Ujung
Genteng setiap tahunnya.
Aku
menutup telepon dan duduk di depan televisi yang tidak menyala.
Aku sungguh merindukan mu. Aku sengaja tidak
membebaskan ku dengan menikmati liburan ini karena saat ini tujuan ku masih ada
pada mu. Sejauh apapun aku pergi, akhirnya pikiran ku hanya pada mu. Tapi aku
seperti sebuah penonton yang hanya mampu melihat mu di layar kaca. Aku mampu
menikmati mu secara visual, tetapi kau tak bisa ku raih sepenuhnya.
Aku
hanya mampu tersenyum lirih. Tak sepantasnya aku berdiam diri seperti seonggok
daging yang dikekang oleh perasaannya sendiri. Tapi memang nyatanya tak bisa
aku pungkiri banhwa aku tak memiliki tujuan saat ini. Seperti mati suri.
No comments:
Silahkan tinggalkan pesan atau komentar yang membangun untuk penulisan/karya yang lebih baik. Terima kasih.