Cermin
Aku melangkahkan kaki ku
cepat-cepat menuju toilet di sebelah kelas IPA di ujung lorong gedung sekolah.
Hujan di luar yang deras serta suhu dingin yang ditekan oleh penyejuk udara membuat ku cukup kedinginan. Lantai pun cukup licin sehingga aku tak bisa berlari.
Di kejauhan, lapangan upacara sudah tergenang oleh air.
Aku berhenti sejenak untuk menunggu awan yang kelabu di langit, bercahaya oleh kilatan halilintar, yang terkadang aku membayangkan akan badai besar datang seperti yang terjadi di daratan benua Amerika di acara National Geographic Channel.
Hujan di luar yang deras serta suhu dingin yang ditekan oleh penyejuk udara membuat ku cukup kedinginan. Lantai pun cukup licin sehingga aku tak bisa berlari.
Di kejauhan, lapangan upacara sudah tergenang oleh air.
Aku berhenti sejenak untuk menunggu awan yang kelabu di langit, bercahaya oleh kilatan halilintar, yang terkadang aku membayangkan akan badai besar datang seperti yang terjadi di daratan benua Amerika di acara National Geographic Channel.
Toilet itu kosong dan cukup
gelap.
Sekolah terdengar sepi dari celotehan anak-anak yang biasanya berteriak di jam-jam istirahat.
Seketika itu pun, aku tak merasa ingin mengeluarkan cairan apapun yang tadinya memaksa dengan penuh siksaan karena aku terlalu malas untuk beranjak dari kursi kerja ku.
Sekolah terdengar sepi dari celotehan anak-anak yang biasanya berteriak di jam-jam istirahat.
Seketika itu pun, aku tak merasa ingin mengeluarkan cairan apapun yang tadinya memaksa dengan penuh siksaan karena aku terlalu malas untuk beranjak dari kursi kerja ku.
Aku menatap ke dalam cermin yang
menampakkan wajahku yang begitu kelelahan. Bulatan abu-abu yang semakin
kehitaman melekat di bawah pelupuk mata ku. Kerutan-kerutan yang semakin
melipat di dahi ku. Lubang pori-pori yang semakin membesar di sekitar pipi dan
bulatan hitam panda ku. Hidung yang dipenuhi oleh komedo. Rambut keriting yang
tak terurus jika tanpa minyak rambut. Rabut-rambut tak karuan di atas bibir ku,
sehingga aku tak bisa menyebutnya sebagai kumis. Dan tak lupa beberapa bekas
jerawat yang membuat ku semakin tampak lebih buruk.
Aku memutar keran dan membasuh
muka ku. Berminyak! Perlu beberapa kali basuhan agar bisa membuatnya tak
berkilap. Aku menutup keran dan kembali melihat diri ku di cermin.
“Aku semakin menua!” Aku bergumam
pada diri ku sendiri.
Perut ku tiba-tiba mual
membayangkan banyak hal yang belum bisa aku tahu di dunia.
Aku mengambil nafas dalam-dalam dan memejamkan mata untuk beberapa detik mencoba kembali menenangkan diri agar tidak menjadikannya dramatis hanya karena berkaca beberapa detik tadi.
Aku mengambil nafas dalam-dalam dan memejamkan mata untuk beberapa detik mencoba kembali menenangkan diri agar tidak menjadikannya dramatis hanya karena berkaca beberapa detik tadi.
Aku memutar kembali keran dan
membasuh muka ku. Tangan dan jemari ku masih basah. Tangan kiri ku tak lebih
basah lagi. Hendak menarik beberapa lembar tissue,
ternyata tak satu pun yang tersisa.
Lampu neon yang dipasang di atas cermin sangat membutakan ku, lalu aku mematikan cahayanya hanya dengan satu kali sentuhan di dinding di samping kotak tissue gantung.
Lampu neon yang dipasang di atas cermin sangat membutakan ku, lalu aku mematikan cahayanya hanya dengan satu kali sentuhan di dinding di samping kotak tissue gantung.
Aku menggambar satu kotak besar
di atas cermin dan seketika menjadi garis-garis tak lurus oleh airnya. Lalu memburamkan;
membiaskan gambaran ku di sana.
Aku tak tampak lagi tua. Bulatan abu-abu yang semakin kehitaman melekat di bawah pelupuk mata ku tak tampak. Kerutan-kerutan yang semakin melipat di dahi ku terbasuh air di biasnya cermin. Lubang pori-pori yang semakin membesar di sekitar pipi dan bulatan hitam panda ku tak ada. Hidung yang dipenuhi oleh komedo serta rambut keriting yang tak terurus jika tanpa minyak rambut itu semakin tak karuan. Aku semakin tak karuan dengan sempurna, tidak hanya pada bagian-bagian tertentu di wajah ku saja. Aku merasa lebih baik.
Aku tak tampak lagi tua. Bulatan abu-abu yang semakin kehitaman melekat di bawah pelupuk mata ku tak tampak. Kerutan-kerutan yang semakin melipat di dahi ku terbasuh air di biasnya cermin. Lubang pori-pori yang semakin membesar di sekitar pipi dan bulatan hitam panda ku tak ada. Hidung yang dipenuhi oleh komedo serta rambut keriting yang tak terurus jika tanpa minyak rambut itu semakin tak karuan. Aku semakin tak karuan dengan sempurna, tidak hanya pada bagian-bagian tertentu di wajah ku saja. Aku merasa lebih baik.
Aku kembali menuju ruang kerja
ku. Hujan deras sudah menjadi lebih bersahabat. Rintikan hujannya sudah seperti
serpihan salju halus yang mudah diterbangkan angin. Aku berhenti sejenak dan
melipatkan tangan ku di atas pagar pembatasnya.
Aku melihat mu berlari di atas rumput, di atas genangan air hujan, dan
di bawah tangisan air hujan. Tanpa alas kaki dan tersenyum bahagia. Kau
tiba-tiba berhenti sejenak dan menertawakan seseorang yang tak bisa ku lihat
dari jarak jauh. Lalu kau berlari kembali dan terjatuh. Kau, aku lihat tidak
menangis, tapi malah membaringkan diri di sana dan tertawa lebih keras lagi.
Kau bahagia atau menertawakan dunia? Aku bertanya mu melalui angin. Kau hanya
diam dan menutupkan mata. Kau membuka mulut mu, haus, dan meneguk air hujan,
lalu tersedak. Kau berdiri dan kembali lari. Entah kemana, menjauh dan
menghilang.
Aku menundukkan kepala ku
menyaksikan beberapa burung gereja yang berteduh di bawah genting-genting
lantai tiga. Mereka melompat-lompat dan menjauh. Lalu terbang menuju lantai
bawah.
Aku kembali memasang mata ku di antara butiran-butiran air hujan yang menetes dari genting atas, mencoba mencari sesuatu yang tidak biasa ketika hujan turun. Apapun itu. Tak ada yang lebih menarik dari hujan itu sendiri.
Aku menghela nafas dan hendak kembali ke netbook ku, biar bisa ku curahkan semuanya dalam cerita.
Aku kembali memasang mata ku di antara butiran-butiran air hujan yang menetes dari genting atas, mencoba mencari sesuatu yang tidak biasa ketika hujan turun. Apapun itu. Tak ada yang lebih menarik dari hujan itu sendiri.
Aku menghela nafas dan hendak kembali ke netbook ku, biar bisa ku curahkan semuanya dalam cerita.
Aku berjalan beberapa langkah dan
kau memanggil ku dari belakang ku, suara mu tepat menyentuh punduk ku. Aku
memalingkan pandangan ku menuju ke arah suara.
Kau berdiri. Basah kuyup. Menatap ku lelah.
Aku tak mampu menatap mu. Yang mampu
ku lakukan hanya menggigit bibir ku dan mengepalkan tangan ku. Lalu kembali
memalingkan mu dari ku.
Aku kembali melangkahkan kaki ku
dan menjauhi mu meskipun kau masih berdiri di sana dan menyaksikan ku pergi
dengan diam membisu.
Hujan ternyata mampu menjadi cermin yang membawa kita pada dunia yang lebih menarik ya. Haha.. Udah ah balik kerja lagi. Ntar klo keliatan tua pake skincare aja ah. Hihi..
ReplyDeleteWah kak coba deh kirim karyanya ke koran. Meskipun honornya ngga seberapa dengan job ngeblog hehehe tapi bisa buat uji nyali gitu. Tulisannya bagussssss-bagusss soalnya.
ReplyDeleteTulisan lama tapi tetap mengena. Hujan bisa diapresiasi macam-macam. Ini kisah tentang pa Guru yah. Keren tulisannya Kak...
ReplyDeleteMengapa berpaling? Hiks, jadi sedih banget bacanya.
ReplyDeleteMas Achdi. Beberapa ceritanya butuh 'waktu' untuk mencerna, tapi yg ini jauh lebih ringan. Saya bisa menikmatinya gak cuma sebagai sebuah cerita, tapi juga bisa puisi. Hehehe. Cocok banget ini mas dibikin versi podcast. Cocoooooook banget. Pasti deh banyak yg dengerin.
ReplyDeleteKatanya sie kalau sering bercermin ga baik ya kak,salah satunya akan shock melihat perubahan yang terjadi ya huhu
ReplyDeleteiya nih, mas Medi bagus banget kalau nulis seperti gini. Saya dukung ide mba jihan untuk mengirim karyanya Mas MErdi ke media. Kalau udah masuk media kan bisa jadi portofolio mas Merdi di dunia kepenulisan
ReplyDeleteLagi asyik baca tiba-tiba kok udah selesai. Kurang panjang, mas. Hehehe
ReplyDeleteKeren ceritanya, saya bayanginnya lagi hujan-hujan ala drama korea hehhe. Semangat terus buat cerpennya kak
ReplyDeleteSy senang melihat hujan gerimis yg turun ketika senja dalam keadaan masih ada matahari bersinar terang tidak mendung dan gelap..rasanya seperti ada jiwa yg terbang menuju kebebasan..hujan selalu ada dengan cerita nya..
ReplyDeleteJadi ingat puisinya Mbah Sapardi Djoko Damono. Hujan di bulan Juni. Suka sekali
ReplyDeleteButuh waktu nih untuk mencerna maksudnya, butuh baca berulang kali juga
ReplyDeleteHujan bisa diceritakan secara romantis bisa juga secara dramatis.. aku suka dalam cerita ini digambarkan dengan sederhana cara menenangkan diri. Menutup mata, menghela nafas, mencuci muka. Itu healing banget.
ReplyDelete