Ruang Kecil di Hati
Malam yang
hangat. Bintang-bintang berkilauan dan bulan penuh dengan bedak langit karena
tampak putih dan cantik. Sabtu malam ini seharusnya aku sudah menikmati liburan
ku di kota Sukabumi tetapi tampaknya hati ku menolak, dan otak ku bertindak dengan
menahan seluruh otot-otot ku untuk tidak meninggalkan kota Bogor hingga awal
tahun depan, 2013. Aku hanya bersandar pada dinding berbantal yang menyanggah
beban ku ketika aku menghabiskan hari-hari ku menyaksikan satu kotak elektronik
yang menampilkan berbagai macam karakter kehidupan. Seperti kau yang sering ku lihat
di sana, di telepon genggam ku. Di dalam facebook
ku. Di dalam twitter ku. Di
urutan pengguna whatsup ku. Di hampir
semua jejaring sosial ku. Dan ini akhir pekan. Aku tak akan bisa meraih mu. Kau
bukan manusia bebas lagi seperti hari senin, selasa, rabu, kamis, hingga jum’at
sore. Kau sudah miliknya dengan sertifikat resmi mengandung hukum Negara
Kestuan Republik Indonesia, serta sah secara Islam. Sedangkan aku sebuah barang
kecil yang menjadi selundupan mu ketika kau berjibaku dengan komputer dan semua
disain struktur bangunan yang ada di benak mu. Walaupun begitu, aku merasa
punya hak atas janji mu yang bersedia membuat satu ruang kecil di hati mu untuk
menyisakan waktu serta pikiran mu untuk ku. Sudah dua bulan lamanya kau tidak
bisa memenuhi ruang di hati ku yang sudah mengering karena tak pernah kau nutrisi
dengan sedikit gizi yang selayaknya.
Akhirnya aku
menemukan titik lelah ku malam ini. Pikiran ku sudah cukup lelah karena tak
mampu meraih mu hingga akhirnya aku terlelap dengan drama yang tak bisa ku
saksikan hingga menjelang subuh.
Sabtu pagi aku
masih terbaring lemas dengan leher pegal akibat posisi bantal yang seharusnya
menopang leher dan kepalaku, ternyata sudah berada di bawah kaki ku. Tampaknya
tadi malam aku telah tak sadar berputar hingga 180 derajat. Lalu aku meneguk
satu botol air mineral hingga ku habiskan setengahnya. Kembali terbaring dan
menatap langit-langit.
“Apa kabar kita
pagi ini?” Aku bertanya pada ruangan kosong di sekeliling ku. Lalu aku memungut
telepon genggam ku yang tepat di sebelah kiri kasur lantai ku dan
mengirimkannya melalui twitter ku
padanya. Beberapa jam kemudia masih tak ada balasan meskipun aku tahu bahwa
hari ini pun masih belum waktu ku bagi nya. Kadang aku berpikir, aku seperti
seorang anak hasil perceraian antara dia dan waktu, serta ruang.
Sing lewat
begitu saja dengan matahari yang terik dan mendung di sore hari, selalu pas
dengan kegiatan tidur siang ku yang semakin menjadi. Malam pun tak jauh
berbeda, aku melihat kegiatan mu melalui jejaring sosial ku dan menunggu hingga
lelah sendiri lalu tertidur pulas.
Hari minggu aku
banyak makan dan menonton televise. Lalu tidur siang dan baru mandi ketika
adzan maghrib berkumandang. Lalu meilhat jejaring sosial mu dan menunggu hingga
kantuk menjangkit ku dan terlelap.
Senin malam. Bulan
purnama terang benderang diselimuti oleh beberapa serabut awan yang terbang
sesekali melewatinya. Bintang tak tampak berkilauan dan bertabur bagai butiran
kemilau di atas pasir pantai Parangtritis. Hembusan angin di sela-sela
pepohonan buah manggis, rambutan, dan pala bergemerisik membangunkan bulu roma
ku. Dingin. Aku tadinya berharap akan bisa melihat semburan kembang api pecah
di bawah langit yang hitam disertai jeritan terompet yang memekakan telinga.
Tapi hanya gelap dan sepi yang aku temui. Aku kembali ke kamar ku dan mengunci
pintu dua putaran. Aku merebahkan diri dan memungut telepon genggam ku. Aku
membuka akun jejaring sosial ku dan menemukan mu mengunggah kecerian mu di
sebuah pusat keramaian kota. Aku melemparkan telepon genggam ku keras-keras di
atas kasur, lalu menraik selimut ku dan menutup kepalaku dengan bantal tidur
ku. Aku menggigitnya keras-keras hingga basah, kemudian berteriak tertahan, “Arghhhhhhhhhhhh….”
Aku merebahkan
diri. Rasanya berat sekali kepala ku. Seperti habis mengerjakan Ujian Nasional
Standar NKRI sekaligus dalam satu hari dengan perpanjangan waktu dari bangun
subuh hingga beberapa detik yang lalu, kemduian setelahnya meminum air es yang
sangat dingin hingga kepala ku hampir pecah.
Aku mengambils
posisi duduk dan mulai mengernyitkan kening ku. Aku rasa aku stress berat dari
hal yang sangat tidak perlu dipikirkan. Aku perlu udara segar. Sesak dan mual.
Aku membuka
pintu dan satu dua kali aku mendengar suara terompet ditiup. Aku tak melihat
seorang pun di sekitar ku. Aku masih
berjongkok mengambil kehidupan dari udara luar kamar ku. Lalu aku duduk dan
bersandar pada dinding dekat pintu ku yang masih terbuka lebar membbiarkan
serangga-serangga di kebun yang kedinginan mencari kehangatan di kamar ku. Aku
menghela nafas panjang dan menengadahkan kepala ku menuju lagit di atas sana
yang - sungguh aku yakin – menertawakan kebodohan ku di bawah sini. Aku tiba
mendengar deru beberapa kaki dari sebelah kanan telinga ku.
Teeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeettttttttttttttttttttttttttttttttttttttttt…
Suara teriakan
bocah-bocah dan jeritan terompet melengking membelah udara.
Iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnnnnnnnnggggggggggggggg…
dor dor dor dor dor ………..
Diikuti oleh
letusan kembang api yang pecah di atas langit menggantikan bintang-bintang. Aku
tak bisa melepaskan pandangan dari bunga-bunga api yang meluncur jauh ke
keheningan malam. Aku berdiri dan menyadari bahwa malam ini telah berganti
tahun. Walaupun waktu terus berputar dengan cepat, tetapi tampaknya tidak
dengan diri ku yang masih tidak bisa berubah dengan cepat pada mu. Karena kau
masih belum mengusir ku dari ruang kecil di hati mu. Padahal aku lupa apakah
aku sudah membayar biaya bulanan sewa kamarnya atau belum dua bulan terakhir
ini. Yang aku tahu bahwa aku masih menyimpan kuncinya erat-erat. Aku tidak tahu
jika aku pun akan kembali menginap di sana atau perlu ku buang jauh-jauh
kuncinya, biar kamu bisa mengganti kuncinya dengan yang baru. Atau
menghancurkan ruangan kecil itu, lalu membaurkannya dengan ruangan besar yang
ada saat ini agar mejnadi satu; tidak terbagi-bagi.
Dingin. Aku tak
tertarik lagi dengan terompet dan kembang api. Aku sudah lelah. Aku ingin esok
aku bisa tahu bahwa dimana tempat kunci itu seharusnya. Aku menutup pintu dan
menguncinya sekali putaran. Aku mematikan lampu di ruang depan dan membiarkan
lampu di kamar tidur ku menyala bersama nyanyian tokek yang nyaring di tengah
letusan kembang api di luar sana.
Aku merebahkan
diri dan hendak menutup mata ku menuju mimpi. Aku masih menggenggam telepon
genggam ku. Aku tengok sebentar jejeraing sosial ku. Kau menuliskan status baru
mu dengan terompet dan makan malam yang sangat telat hingga dini hari. Bersama
orang yang menjadi ruang besar di hati mu. Aku memalingkan muka dan menutup
jejaring sosial ku. Lalu aku mencari playlist
di telepon genggam ku dan memutarkan lagu sebelum tidur yang paling bisa
membuat ku tenang dan cepat terlelap, Always
on my mind oleh Michael Buble.
Bismikallahumma
Ahya Wabismika Ammut….
No comments:
Silahkan tinggalkan pesan atau komentar yang membangun untuk penulisan/karya yang lebih baik. Terima kasih.