Mari Mampir!

Selamat datang di blog saya. Selamat menikmati menu beragam yang akan mengisi dahaga mu akan ilmu dan rasa lapar mu akan cerita tentang hidup. Jangan dulu meninggalkan meja makan ku sebelum kamu kenyang dan siap melangkah lagi. Salam kebajikan.
Breaking News
recent

Melamar rindu

Setelah angin bertiup setiap sore di atas gedung kokoh di lantai dua itu, aku selalu terkesima ketika hujan telah berhenti dari langit-langit angkasa yang menguning dalam senja. Masih ada sisa-sisa awan kelabu yang tersulam di atas ubun-ubun, mengeras dari seluruh rindu dan mengerak menuju kalbu. Musim ini, aku membutuhkan banyak waktu untuk menunggu matahari. Jika tidak setelah subuh beriringan dengan kicauan burung di atas pohon rambutan, atau setelah jam buruh yang bersamaan dengan adzan ashar. Menunggu mu telah aku anggap menjadi bagian dari cerita ku lagi yang bersahutan dari episode pertama setelah sekian lama tulisan ini kaku dalam ruang waktu. Aku senang karena akhirnya ada warna cerah dalam buku gambar ku yang telah lama kosong selama beberapa bulan terakhir ini.

30 Desember 2011:
Akhir tahun itu aku sempat mengeluh pada eyang ku di pantai selatan. Bahwa aku lelah dan jenuh dengan scenario hidup yang tuhan berikan pada ku. Aku sungguh menikmati bercengkrama di atas ombak, sembari diterpa angin laut dan jeritan burung camar yang melayang mengikuti kemana aku berlayar. Hanya pancing sederhana dan satu ember umpan ikan. Matahari tak terlalu terik karena awan mendung bergelayutan memayungi keresahan ku selama ini. Eyang tampak tidak memperdulikan ketidakinginan ku untuk ikut bersamanya memancing ikan di laut tak jauh dari pesisir pantai. Aku pun tak terlalu memperdulikan seberapa banyak ikan yang akan beliau dapatkan. Yang aku tahu bahwa aku ingin diam di tengah lautan dan merasakan ombak di atas perahu nelayan. Sambil bermain air dan menyaksikan arus yang tidak terlalu besar. Aku malah tergiur ingin langsung menyelam dan berenang menuju daratan. Tapi rasanya tak sopan jika aku pergi begitu saja. Jadi aku pasrah dan menikmati laut seperti sendirian.

Angin semakin besar menderu di sebelah barat. Bahkan aku bisa menyaksikan sebagian lautan di sana terguyur oleh hujan. Aku membujuk eyang untuk segera mendarat karena takut badai atau setidaknya menghindari hal-hal yang bisa membahayakan hidup ku. Karena aku belum pernah melawan arus ketika ombak pasang. Dan ketika hujan tentunya. Dan beliau menyetujui keinginan ku. Seperti seorang kakek yang tahan dengan rengekan cucunya. Tak sangka, ikan sudah menumpuk di atas ember terpisah. Tampaknya malam ini aku akan makan banyak ikan. Belum lagi udang besar dan gurita yang ditangkap oleh paman ku tadi pagi. Saatnya pesta seafood.

Motor perahu menderu mengoyak lautan. Angin semakin kencang dan aku masih sedikit khawatir, meskipun aku sempat membayangkan jika perahu terbalik dan aku harus berusaha keras untuk berenang menuju darata, pasti akan seru. Karena satu pertiga jarak tempat memancing eyang pernah aku tempuh dengan berenang. Tak terlalu jauh, mungkin hanya 300 meter saja.

Setelah menginjakkan kaki ku di atas pasir putih, aku memutuskan untuk berdiri sejenak menatap awan mendung di sebelah barat. Sungguh indah. Karena aku akan, pada akhirnya hujan berhenti sebelum matahari terbenam, akan ada bidadari yang melukiskan pelangi di sana. Lagipula, bagi ku, hujan adalah tetesan langit yang akan membuat ku tetap terjaga dari redupnya cerita masa lalu. Aku harus maju meskipun rindu ku tidak hanya satu.

31 Desember 2011
Malam begitu ramai ketika hampir semua orang di desa ini tumpah ruah merayakan tahun baru. Sudah ada panggung dangdutan, parkiran motor-motor di sepanjang samping jalan, patroli polisi, dan tenda-tenda dadakan. Aku ingat dulu, ketika aku masih bersama mu. Menyaksikan cahaya mercusuar dan lampu-lampu di atas perahu. Lautan begitu gelap sehingga langit menjadi begitu indah. Karena bintang-bintang yang berpijar berkelap-kelip sebelum pesta kembang api dimulai.

Kau memeluk ku. Meremas lembut jemari ku.

Itu hal terindah yang masih ku ingat di malam itu. Tapi itu hanya memori ku. Sepuluh musim telah berlalu, tetapi masih melekat ketika kaki ini berdiri tepat di depan angin yang membawa ombak menuju daratan.

Aku telah merindukan lebih dari satu. Masa lalu dan satu yang sedang aku tuju. Aku tak bisa memutuskan mana yang sedang aku rindu. Yang aku tahu aku menginginkan mu.

Januari 2012
Kerak-kerak rindu itu sedikit melunak ketika mata mu tajam menuju ku dan aku tak kuasa untuk menundukkan kepala seraya menyerah dalam kuasa mu. Sungguh, jika tak tahu malu, mungkin sudah ku genggam tangan mu dan menyatakan sayang ku. Tapi apa daya, ego ku di dunia masih tak mau mengaku. Sehingga lebih baik aku bungkam dan membisu. Aku masih merasa kau terlalu hebat untuk ku. Melihat mu tertawa dan meluangkan waktu mu, sudah satu bahagia yang telah dunia berikan untuk ku. Dan aku pasti akan merindukan mu setelah jam ini. Setelah aku mencicipi hangat mu yang mudah-mudahan tidak akan basi hingga nanti kita bertemu.
Semoga ada nanti untuk ku dan untuk mu. Karena ini rindu.

No comments:

Silahkan tinggalkan pesan atau komentar yang membangun untuk penulisan/karya yang lebih baik. Terima kasih.

Powered by Blogger.