Harta Karun
Abdi menatap langit yang semakin tenggelam dalam laut di ujung sana. Lalu sembari bernafas dengan teratur, dia mulai menutup matanya dan menyelam masuk ke dalam tiupan angin yang membasuh mukanya dengan bau lautan.
Pasir putih yang semakin tertutup oleh ombak pasang mulai terkikis dan menjauh. Teriak camar memekakan telinga yang bersauh bersama adzan magrib.
Kapal-kapal nelayan yang mulai ramai di pesisir pantai, bersama lampu-lampu petromak yang menggantung bergoyang-goyang membuatnya ngeri membayangkan kehidupan nelayan yang terombang-ambing di lautan lepas ketika malam menjelang.
Mereka sungguh menakjubkan.
Menggantungkan hidup hanya dengan ikan-ikan yang mungkin sudah berpindah tempat menuju laut di seberang sana.
Seperti Abdi yang menggantungkan hidupnya hanya dengan sesuatu yang belum dia benar-benar temukan dimana letak bahagianya. Maka ketika dia merasa jenuh dengan semua pemikiran-pemikirannya akan dunia serta masa depan, maka dia akan menghirup udara hangat yang dibakar oleh matahari di pantai selatan.
Dia akan bermain-main dengan sekumpulan makhluk mungil yang berlari kecil di atas pasir putih, bahkan ada beberapa yang bersembunyi di balik karang-karang tak besar yang akan segera tertutup oleh ombak pasang di malam hari.
Abdi mengingat kembali bahwa dia sedang mencari satu harta di pantai itu. Sebuah harta yang selalu dia impikan semenjak masa SMA dahulu. Mimpi yang kabur sesungguhnya, tetapi dia tahu bahwa itu adalah petunjuk menuju hartanya. Dia selalu menghabiskan waktu duduk di atas kapal karam di pesisir pantai ketika fajar muncul di ufuk barat dan berakhir di sebelah timur.
"Langit biru dan matahari, di mana letak harta itu berada?” Abdi bergumam pada dirinya sendiri. Lalu dia menghela nafas, kemudian menariknya dalam-dalam hingga semua letih satu hari penuh bisa terbebaskan.
“Esok aku pasti akan mencari mu lagi setelah bermain bersama kumang dan berendam di laut dangkal.” Lalu dia memenjamkan matanya sejenak dan mencoba mengingat di mana harta karun itu. Mungkin setelah merapalkan beberapa mantra tadi, dia bisa menemukan petunjuk yang sangat berharga.
“Terima kasih angin yang telah membuat ku selalu bersemangat untuk mencari harta itu. Kau banyak membantu ku ketika pasir itu terlalu tebal untuk ku gali dan menghembuskan tiupan kasih mu ketika matahari terlalu sombong dengan kedewaannya.”
Dan Abdi pun pergi menjauh ditemani oleh angin laut yang mengantarkannya menuju rumah seorang paman yang sungguh baik hati memberikannya tempat teduh dari bahaya malam. Lalu melepas lelah hingga terlelap dalam tidurnya.
Esok subuh, Abdi bergegas mencari perahu yang baru menepi dari menjaring ikan. Seru menyaksikan nelayan yang berhasil menangkap banyak ikan dan udang, beberapa kepiting sedang yang terjaring tak sengaja; tak lupa sampah laut dari kapal-kapal minyak yang melintas menyusahkan mereka memisahkan, memilah satu-satu ikan yang akan dijual di pasar nanti siang.
Ada satu ikan yang menarik perhatiannya. Bentuknya seperti ikan ganas yang sering masuk televisi. Bentuknya pipih dan memanjang dengan deretan gigi seperti gergaji besi yang kecil-kecil. Siripnya tak lebar tetapi semampai dengan tubuhnya yang langsing bak peragawati. Dia pikir itu adalah seekor ikan hiu kecil. Mungkin baru beberapa minggu saja umurnya.
Perlahan dia mendekati seorang nelayan yang sedang berusaha memisahkan ikan hiu kecil tersebut dari jaringnya. Tak ada tanda-tanda bahwa ikan itu masih hidup. Warnanya sudah tidak segar, bahkan ada beberapa bagian tubuhnya, jika diperhatikan lebih dekat dan seksama, tergores oleh, mungkin karang atau ketika diangkat dari jaring oleh nelayan itu, terluka. Lalu nelayan itu melempar sembarang ikan yang dianggap hanya bangkai semata.
Betapa malang nasib mu kawan hiu. Baru beberapa minggu bisa bebas berenang di lautan, lalu terjaring tak sengaja oleh nelayan, mati. Apakah hidup mu sia-sia belaka? Besok kau perlahan akan membusuk dan dimakan bakteri-bakteri pengurai bersama ombak yang menderu dari lautan. Setidaknya keluarga mu tak akan lagi khawatir bahwa engkau sudah kembali menyatu bersama lautan. Laut akan mengabarkan semua cerita tragis mu. Semoga mereka tabah.
Abdi kembali melanjutkan ke kapal nelayan ke dua yang baru tiba usai menjaring ikan. Beberapa warga membantu menarik kapal dengan tambang dan beberapa lainnya menarik dari belakang menuju daratan. Tampaknya tidak banyak yang bisa mereka tangkap hari itu. Wajah mereka tampak lesu. Kasihan. Mereka akan makan apa hari itu? Semoga tuhan berlaku adil pada umatnya. Itu semua yang selalu Abdi pikirkan.
Dia lalu menjadi malas untuk melanjutkan kegiatannya hari ini. Awan masih hitam dan tak bersahabat, masih menutupi matahari yang hendak berkuasa hari itu. Udara pun terlalu dingin dan cenderung melawan ingin nya.
“Aku sebaiknya kembali ke gubug paman ku untuk mencari hangat. Satu gelas kopi instan kesukaan ku mungkin bisa membuatku bersemangat siang nanti.”
Sembari memasang sepasang earphone di kedua lubang telinganya, Abdi memutar lagu sendu kesukaannya saat ini, Turning Page dari Sleeping at last.
Abdi berjalan menuju rumah Paman Adnan yang letaknya tak jauh dari pantai.
Lagu ini selalu menjadi kenangan yang sangat indah ketika Abdi menemukan seseorang yang dia anggap anugerah dari tuhan. Meskipun dia tidak pernah bisa setuju bahwa anugerah yang sungguh berbeda itu adalah sesuatu yang bisa didefinisikan sebagai jodoh dari tuhan. Abdi pun tersenyum getir. Dan hal ini membuatnya ingin segera melahap sarapan yang sebelumnya telah disiapkan oleh Bibinya, Bi Lilik.
Dia memutuskan untuk segera berteduh di rumah pamannya.
Dia berlari kecil hingga sebelum menyebrangi jalan aspal yang biasa dilalui oleh angkutan umum ke tempat penjualan ikan di ujung pantai di sebelah timur.
Tampak eyang ku merokok sambil bersila santai di beranda depan. Asapnya mengepul dan hilang di atas rintikan hujan pagi ini.
Satu gelas kopi hitam dan satu piring pisang goreng yang asapnya tidak terlalu menonjol, masih mengepul dari dekat, Abdi bisa melihatnya. Dia melepaskan salah satu earphone yang masih menempel di lubang telinga kanannya.
“Pagi-pagi sudah ke laut. Dasar orang kota. Bukannya sarapan dulu. Atau ngopi dulu lah sama eyang di sini!” Kakeknya berseru.
“Tadi waktu bangun tidur, di jendela aku lihat beberapa nelayan yang ramai menarik perahu dan sebagian lagi membantu mendorong dari arah lautan. Pasti ada yang pulang bawa ikan. Ingin lihat langsung. Dah setahun ini gak lihat kan, Eyang.” Dia menyahut, mencoba memberikan penjelasan sebisa mungkin.
Eyangnya menunjuk pada piring berisikan pisang goreng. Abdi mengangguk, tersenyum geli melihat eyangnya memakan pisang goreng dengan mimik muka seorang kakek yang sedang mengunyah ketika giginya sudah rontok semua.
“Bentar ya, Yang. Mau bikin kopinya dulu.” Abdi bergegas menuju kamar mandi untuk membasuh kakinya yang masih kotor karena pasir laut. Bi’ Lilik tersenyum dan melirikkan matanya menuju sebuah wadah di sebelah lemari piring di Dapur.
Ada satu ember udang besar-besar, satu baskom kepiting sedang dan satu ember ikan laut berbagai jenis yang sebagiannya tampak ikan merah dan layur. Akan banyak makan nih liburan kali ini. Abdi berpikir.
Abdi tertawa dan menunjukkan dua jempolnya yang masih keriput karena kedinginan. Lalu dia menyeduh satu cangkir kopi dan duduk di sebelah eyangnya.
“Bagaimana kerjaan mu di Bogor? Sudah dapat jodoh?” Eyang bertanya seakan dua kalimat tadi saling mendukung dan berkolerasi.
Abdi hanya tersenyum sembari meniupi pisang goreng yang masih panas itu.
“Kalau kamu nunda-nunda terus, entar keburu habis uang kamu.”
“Loh, kenapa eyang? Bukannya harus nabung dulu buat menikah? Malah lagi ngumpul-ngumpul duit, kan?” Dia menyahut sekenanya.
“Kakak dan adek-adek kamu sudah menikah! Tinggal kamu toh yang belum? Gak usah gede-gedean dan buang-buang uang buat nikah. Sederhana saja!” Eyang ku merespon dengan diplomatis.
Abdi hanya menggelengkan kepalanya sembari melahap pisang goreng yang sudah tak terlalu panas. Rintikan hujan di atas genting, alunan lagu melalui lubang telinga kiri, dan wejangan eyangnya di lubang sebelah kanan.
Dalam pikirannya, Abdi ingin menyahut pada setiap pertanyaan orang-orang yang selalu mengkhawatirkannya bahwa dia masih mencari harta karun itu. Dan pagi itu terus hujan hingga adzan dzuhur berkumandang.
Memang sejatinya menikah itu tidak perlu gede-gedean. Yang penting sah di mata hukum dan agama. Uangnya bisa ditabung untuk membeli keperluan yg lain. Btw, enak banget membayangkan makan pisang goreng dengan minumnya kopi manis. Hehehe
ReplyDeleteHarta karunnya siapa sih? Tadinya aku pikir Si Arif ini nelayan yang terobsesi sama jenis ikan tertentu mas. Wkwkwk. Dangkal banget pemikiranku yaaa.
ReplyDeleteIni cerita ada lanjutannya nggak sih? Kalau ada saya harap isi harta karunnya adalah duyung cantik biar bisa jadi jodohnya si arif wkwkwk
ReplyDeletePerlu baca dua kali nih biar paham, hehehe
ReplyDeleteah, kata-kata nenek emang paling bener. setuju kalo nikah itu nggak perlu gede-gedean pestanya... semoga aku dapat jodoh yang pemikirannya (sama) seperti itu juga..
Pinter bngt kak menganalogikan jodoh dan harta karun..bagus ceritanya..ditunggu ya lanjutannya..
ReplyDeleteWah saya sampe baca dua kali lho biar lebih memahami, memang ya menikah itu nggak usah yang mewah, yang lebih penting adalah menyiapkan kehidupan setelah menikah
ReplyDeleteSemangat ya Arif, semoga harta karun yang dikau impi-impikan itu cepat ketemu dan membahagiakan hidup yaa
ReplyDeleteHihi mudah2an harta karunnya cepet ketemuuu sesuai dengan impian, yg terbaik buat arif
ReplyDeleteManusia emang gak habis pertanyaannya mas.
ReplyDeleteKalo belum nikah, ditanyain jodohnya mana
Kalo udah nikah ditanyain kapan punya anak,
Udah punya anak, ditanyain kapan nambah buat adek si kecil..
Hihi
Menikah ketika tiba waktunya,,ehehhee...
ReplyDeleteSemoga niat menikah juga bisa lurus, krn ibadah, ada valuenya, ada tujuan, bukan krn tuntutan tatanan di masyarat