Mari Mampir!

Selamat datang di blog saya. Selamat menikmati menu beragam yang akan mengisi dahaga mu akan ilmu dan rasa lapar mu akan cerita tentang hidup. Jangan dulu meninggalkan meja makan ku sebelum kamu kenyang dan siap melangkah lagi. Salam kebajikan.
Breaking News
recent

Tak Apa

Asap yang mengepul dari pembakaran sederhana di atas gerobak terpisah, terbang bersama angin malam menuju awan-awan yang menghalangi bulan purnama. Bau rempah-rempah khas pulau sumatera barat, serta beberapa tusukan daging tipis yang siap dibakar di atas perapian kecil dengan arang siap kibas. Tiba lebih awal satu gelas teh poci hangat dan satu piring lontong terpisah. Sekali dua kali aku kembali melirik si Uda yang sembari berdendang sayup, berharap segera menyelesaikan tugasnya untuk memenuhi selera makan ku malam ini.


Sejenak ku pejamkan mata untuk menyelami kembali rencana-rencana ku di akhir bulan Juli ini. Apakah akan menjadi indah atau tetap seperti masa-masa di sembilan musim terakhir. Masih berkutat dengan masa lalu dan memendam kesepian. Atau tuhan tiba-tiba akan menitipkan satu tetes air hujan, kemudian menunjukkannya dalam bola-bola kristal di atas dedaunan pada pagi hari? Dalam embun-embun penyejuk hati setelah mimpi semalam. Aku tak mau berharap. Dan sungguh sudah tak perlu. Karena akhirnya aku akan kembali pada satu titik di dalam lingkaran setan. Dalam garis yang sama. Ku definisikan sebagai takdir.


Takdir. Tuhan. Aku. Dan satu porsi sate padang.


Dan aku sungguh akhirnya akan kembali berharap bahwa di akhir kalimat tadi akan ada ‘kau.’


Takdir. Tuhan. Aku. Satu porsi sate padang. Dan kau.


Di bawah rembulan penuh yang tertutup sebagian cahayanya oleh awan-awan yang mengepul dari pembakaran berbagai penjual sate. Bisa ku bayangkan kau akan tertawa lepas menyaksikan ku melepaskan satu persatu daging dari tusukan bambu yang sedikit belepotan dari saus kentalnya. Senyum mu yang cukup menggoda ku dan terkadang tak kuasa menahan rasa malu dari tajamnya tatap mata mu. Bisa ku bayangkan.


Karena aku ingin ada tuhan dalam takdir kita. Dengan satu porsi sate padang, dan siap menambah dua porsi lainnya. Ada aku. Kau. Dan asap-asap yang mengepul menuju awan-awan yang menutupi sebagian bulan purnama. Dan ku definisikan sebagai bentuk kerinduan.


Ketika tuhan menepikan ku pada satu tempat dimana aku bisa berlari bebas di atas tumpukan pasir putih yang sedikit demi sedikit terkikis oleh tarikan ombak laut. Dan aku tertarik pada tawaran tuhan dengan mempertemukan mu pada ku. Yang mengayuh satu sampan kecil dari batang pohon kelapa. Mengapung di atas hamparan ombak pagi. Dan tersenyum manis. Sedikit silau oleh pantulan cahaya mentari yang meresap ke dalam dasar pesisir permukaan air laut di pantai, kau tetap menawan.


Dan tiba-tiba kau tersenyum sendiri. Tergelitik oleh sesuatu yang membuat ku tak nyaman. Apa ada sesuatu yang lucu menempel di muka ku? Apa aku memiliki hidup yang terlalu besar untuk ukuran badan ku? Apa rambut ku terlalu gimbal untuknya? Apa?! Lalu kau duduk menatap jauh menuju laut bebas. Memperhatikan burung camar yang menyelam singkat ke dalam laut dan menangkap ikan kecil. Dan melirik ku.


Apa lagi? Ada yang lebih aneh di wajah ku? Sungguh semakin aku tak karuan.


Kau tersenyum dan mengajak ku duduk di samping mu.


Kau menuliskan satu inisial huruf awal dalam abjad romawi dan menunjuk ke pada ku.

“A”


Aku tak paham dan hendak ingin bertanya. Kau tersenyum kembali dan meraih jemari ku. Membimbing ku menuliskan inisial huruf awal ke empat dari abjad romawi.

“D”


Dan aku masih tak memahami cara dan maksud mu. Ku perhatikan dan ku ikuti semua ingin mu. Lalu kau menarik satu otot bibir mu untuk kembali tersenyum pada ku.


“AKU”

“DUNIA”

Bahwa tak akan ada “Aku”, dan tak lagi hanya “Dunia.” Dengan sabar engkau melepaskan informasi-informasi berharga menurut falsafah mu. Tetapi “Kita” dan “Syurga setelah dunia.”


Aku tak lagi menatap menembus jauh ke arah ombak yang bergemuruh. Tertunduk dan terdiam. Memperhatikan kepiting-kepting putih dab mungil yang berusaha keras menggali pasir untuknya bersarang sebelum terbawa ombak. Lalu ku beranikan diri menatap mata mu. Dan kau pun diam termangu. Masih menatap kosong menuju arah angin.


Kemudian berdiri dan mendesah berat pada lubang-lubang hidung mu, “ Tapi aku tak tahu kapan waktu ku bisa bersama mu. Tanpa A dan D. Karena aku masih senang menggembalakan dunia ku. Tanpa mu dulu.”


Tiap-tiap langkah mu begitu pilu. Layu. Dan tak lagi menoleh ku.


Aku tersenyum lirih. Tak apalah. Sudah takdir ku…

No comments:

Silahkan tinggalkan pesan atau komentar yang membangun untuk penulisan/karya yang lebih baik. Terima kasih.

Powered by Blogger.