CIREBON & KERATON KASEPUHAN
Terik matahari dan bau kota
Jakarta yang tak menyenangkan menuju Stasiun Gambir di atas Bis Metro Mini
membuat ku ingin cepat sampai dan menikmati AC di atas kereta Argo Jati. Tiba
di stasiun Gambir dari Goethe Institute, Mentang Jakarta, setelah mengantar dua
siswi, Silmi dan Rahayu, yang mendapatkan beasiswa untuk belajar Bahasa Jerman,
aku dan Frau Siti Samsiah, mencari rombongan dari SMA Dwiwarna yang sudah tiba
lebih awal di sana. Kami mendapatkan tiket keberangkatan pukul 13.20 menuju
Cirebon untuk menyaksikan perhelatan akad pernikahan kawan kami yang juga rekan
guru di SMA Dwiwarna, Bapak Harmoko, seorang guru Geografi yang paling dicintai
oleh seluruh siswa dan civitas sekolah.
Hadir dengan membawa pasukan penuh, Ibu Hj. Retno A beserta suami dan ketiga putranya, Ibu Euis Syamsiah dengan dua putranya, Ibu Rini Wiradisastra, Ibu Andi Siti Rachmawati, Ibu Eviaty, Ibu Ratih, Ibu Reni, Bapak Iwan, dan seorang siswa yang baru saja lulus, Ahmad Jaka. Masih kurang dua personil dari tiket yang sudah dipesankan, yaitu Bapak Matrisoni dan Bapak Agus. Sembari menunggu keberangkatan, kami memutuskan untuk shalat dzuhur membeli makanan cepat saji di dekat pintu masuk.
Hadir dengan membawa pasukan penuh, Ibu Hj. Retno A beserta suami dan ketiga putranya, Ibu Euis Syamsiah dengan dua putranya, Ibu Rini Wiradisastra, Ibu Andi Siti Rachmawati, Ibu Eviaty, Ibu Ratih, Ibu Reni, Bapak Iwan, dan seorang siswa yang baru saja lulus, Ahmad Jaka. Masih kurang dua personil dari tiket yang sudah dipesankan, yaitu Bapak Matrisoni dan Bapak Agus. Sembari menunggu keberangkatan, kami memutuskan untuk shalat dzuhur membeli makanan cepat saji di dekat pintu masuk.
Pukul 13.00 kami mencari
tempat duduk di gerbong 1. Meskipun tidak terlalu mewah, tapi cukup nyaman
untuk perjalanan jarak cukup jauh menuju Cirebon. Bagasi untuk tas yang luas,
satu bantal kecil, dua buah stop kontak untuk mengisi batere alat-alat
elektronik, dan gerbong kereta yang tidak kotor sudah menjadi layanan yang
cukup memadai.
Sejujurnya ini adalah pertama kalinya penulis naik kereta untuk perjalanan cukup jauh, selain itu, kot Cirebon, meskipun bukan pertama kalinya menurut versi orang tua penulis, penulis menganggapnya sebagai pengalam pertama karena menurut mereka penulis terakhir ke kot Cirebon kira-kira tahun 1986 [26 tahun yang lalu mana ingat!]. Sehingga ketika menemukan ada stop kontk untuk mengisi batere alat elektronik, penulis cukup ndeso karena sedikit takjub dengan hal itu. Dan tentu hal tersebut menarik perhatian ibu-ibu yang ada dan spontan menjadikan ku sebagai bahan gurauan mereka. Tak apa, penulsi anggap itu sebagai sebuah bentuk hiburan di awal perjalanan kami.
Sejujurnya ini adalah pertama kalinya penulis naik kereta untuk perjalanan cukup jauh, selain itu, kot Cirebon, meskipun bukan pertama kalinya menurut versi orang tua penulis, penulis menganggapnya sebagai pengalam pertama karena menurut mereka penulis terakhir ke kot Cirebon kira-kira tahun 1986 [26 tahun yang lalu mana ingat!]. Sehingga ketika menemukan ada stop kontk untuk mengisi batere alat elektronik, penulis cukup ndeso karena sedikit takjub dengan hal itu. Dan tentu hal tersebut menarik perhatian ibu-ibu yang ada dan spontan menjadikan ku sebagai bahan gurauan mereka. Tak apa, penulsi anggap itu sebagai sebuah bentuk hiburan di awal perjalanan kami.
Sepanjang perjalanan,
kamera tak pernah berhenti untuk mengabadikan momen-momen berharga yang tak
bisa dilewatkan begitu saja. Mata pun tak bisa dengan mudah lelah untuk pulas
tertidur karena pada kenyataannya, kami banyak bercanda dan tertawa sehingga
perjalanan selama 3 jam tak terasa.
Tiba di Stasiun Kejaksaan Cirebon, kami dijemput oleh Pak Moko, sapaan akrab Bapak Harmoko, dengan sebuah mobil Toyota Avanza yang notabene tak akan cukup menampung segerombolan bocah-bocah petualang ini. Sehingga harus ada dua kloter untuk menjemput rombongan besar dari SMA Dwiwarna yang dengan antusias masih menikmati masa-masa liburan sekolah.
Tiba di Stasiun Kejaksaan Cirebon, kami dijemput oleh Pak Moko, sapaan akrab Bapak Harmoko, dengan sebuah mobil Toyota Avanza yang notabene tak akan cukup menampung segerombolan bocah-bocah petualang ini. Sehingga harus ada dua kloter untuk menjemput rombongan besar dari SMA Dwiwarna yang dengan antusias masih menikmati masa-masa liburan sekolah.

Tak lama, jemputan datang dan kami pun tiba di Hotel Intan di Jl. Sam Ratulangi, Cirebon. Kami beristirahat sejenak hingga setelah shalat maghrib, kami memutuskan untuk menikmati angin malam Cirebon dengan menggunakan becak menuju Keraton Kasepuhan Cirebon. Seperti disuguhi sebuah wisata religi yang lebih mengarah pada hal-hal magis, tampak beberapa pengunjung merasakan sesuatu yang gaib di sana.
Keraton
Kasepuhan
adalah keraton
termegah dan paling terawat di Cirebon. Halaman depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah dan terdapat pendopo
didalamnya. Keraton ini memiliki museum yang cukup lengkap dan berisi benda pusaka dan lukisan
koleksi
kerajaan.
Salah satu koleksi yang dikeramatkan yaitu kereta Singa Barong.
Keraton Kasepuhan didirikan pada tahun 1529 oleh Pangeran Mas Mochammad Arifin II (cicit dari Sunan Gunung Jati) yang menggantikan tahta dari Sunan Gunung Jati pada tahun 1506. Ia bersemayam di dalem Agung Pakungwati Cirebon. Keraton Kasepuhan dulunya bernama Keraton Pakungwati, sedangkan Pangeran Mas Mochammad Arifin bergelar Panembahan Pakungwati I. Sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia wafat pada tahun 1549 dalam Mesjid Agung Sang Cipta Rasa dalam usia yang sangat tua. Nama beliau diabadikan dan dimuliakan oleh nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yaitu Keraton Pakungwati yang sekarang bernama Keraton Kasepuhan.
Keraton Kasepuhan didirikan pada tahun 1529 oleh Pangeran Mas Mochammad Arifin II (cicit dari Sunan Gunung Jati) yang menggantikan tahta dari Sunan Gunung Jati pada tahun 1506. Ia bersemayam di dalem Agung Pakungwati Cirebon. Keraton Kasepuhan dulunya bernama Keraton Pakungwati, sedangkan Pangeran Mas Mochammad Arifin bergelar Panembahan Pakungwati I. Sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia wafat pada tahun 1549 dalam Mesjid Agung Sang Cipta Rasa dalam usia yang sangat tua. Nama beliau diabadikan dan dimuliakan oleh nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yaitu Keraton Pakungwati yang sekarang bernama Keraton Kasepuhan.
Di depan Keraton Kesepuhan terdapat
alun-alun yang pada waktu zaman dahulu bernama Alun-alun Sangkala Buana yang
merupakan tempat latihan keprajuritan yang diadakan pada hari Sabtu atau istilahnya pada
waktu itu adalah Saptonan. Dan di alun-alun
inilah dahulunya dilaksanakan berbagai macam hukuman terhadap setiap rakyat yang
melanggar peraturan seperti hukuman cambuk. Di sebelah barat
Keraton kasepuhan terdapat Masjid yang cukup megah hasil karya dari para wali yaitu Masjid Agung
Sang Cipta Rasa.
Sedangkan di sebelah timur alun-alun
dahulunya adalah tempat perekonomian yaitu pasar -- sekarang
adalah pasar kesepuhan yang
sangat terkenal dengan pocinya.
Model bentuk Keraton yang menghadap utara dengan bangunan Masjid di sebelah
barat dan pasar di sebelah timur dan alun-alun ditengahnya merupakan
model-model Keraton pada masa itu terutama yang terletak di daerah pesisir.
Sebelum memasuki gerbang komplek Keraton Kasepuhan terdapat dua buah pendopo, di sebelah barat disebut Pancaratna yang dahulunya merupakan tempat berkumpulnya para punggawa Keraton, lurah atau pada zaman sekarang disebut pamong praja. Sedangkan pendopo sebelah timur disebut Pancaniti yang merupakan tempat para perwira keraton ketika diadakannya latihan keprajuritan di alun-alun.
Memasuki jalan kompleks Keraton di
sebelah kiri terdapat bangunan yang cukup tinggi dengan tembok bata kokoh
disekelilingnya. Bangunan ini bernama Siti Inggil atau dalam bahasa
Cirebon sehari-harinya adalah lemah duwur yaitu tanah yang tinggi.
Sesuai dengan namanya bangunan ini memang tinggi dan nampak seperti kompleks
candi pada zaman Majapahit. Bangunan ini didirikan pada tahun 1529, pada masa
pemerintahan Syekh Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Pukul 21.00 kami kembali ke Hotel dan
beristirahat.
Pukul 07.00 semuanya sudah siap untuk
berangkat ke acara akad yang dilaksanakan di Perumahan di sekitar Jl. Malabar,
Cirebon. Alhamdulillah, semua kegiatan lancar dan kami bisa menyaksikan
kebahagiaan antara pasangan baru, Bapak Harmoko dan Ibu Putri. Pukul 10.00 kami
kembali ke hotel untuk packing dan
mencari oleh-oleh untuk dibawa pulang. Pukul 13.00 kami semua sudah berkumpul
di Stasiun Kejaksaan Cirebon untuk menunggu keberangkatan menuju Jakarta Pukul
14.20.
Selama perjalanan, semua rombongan
masih sangat bersemangat. Masih banyak terdengar celotehan ibu-ibu yang tertawa
karena candaannya tehadap penulis, hingga Pak Iwan yang tak pernah bisa tahan
untuk duduk berlama-lama sehingga keluyuran di sepanjang gerbong dan duduk ikut
bercanda dengan ibu-ibu lainnya.
Sempat ada satu gurauan dimana tiba-tiba Sensei "Enin" Eviaty meminta penulis untuk membelikannya beberapa butir telur asin khas Cirebon disaat 5 menit sebelum keberangkatan agar penulis ketinggalan kereta menuju Jakarta. Penulis merespon, "Mangga atuh enin, mana artosna?" [Silahkan, mana uangnya?]
Sontak semua kawan terbahak melihat betapa mengkhawatirkannya ekspresi dan betapa pasrahnya penulis untuk memenuhi keinginan seorang wanita yang tidak terlalu berdaya.
Sempat ada satu gurauan dimana tiba-tiba Sensei "Enin" Eviaty meminta penulis untuk membelikannya beberapa butir telur asin khas Cirebon disaat 5 menit sebelum keberangkatan agar penulis ketinggalan kereta menuju Jakarta. Penulis merespon, "Mangga atuh enin, mana artosna?" [Silahkan, mana uangnya?]
Sontak semua kawan terbahak melihat betapa mengkhawatirkannya ekspresi dan betapa pasrahnya penulis untuk memenuhi keinginan seorang wanita yang tidak terlalu berdaya.
Kami tiba di Stasiun Gambir Jakarta,
pukul 16.45 dan ketika hendak naik kereta menuju Bogor, waktunya terlalu sempit
karena kereta menuju Bogor berangkat pukul 16. 48 sehingga kami tak sempat
membeli tiket. Kami harus menunggu kereta pukul 17.21 dan sepanjang perjalanan
menuju Stasiun Cilebut harus berdiri.
Alhamdulillah, hingga Parung tiba pukul
19.30 dan tak terasa liburan sudah berakhir karena keesokan harinya sekolah
telah menunggu kami untuk melaksanakan lokakarya.
Semangat, Bapak-Ibu, Lokakaryanya J
*Sumber: Wikipedia
No comments:
Silahkan tinggalkan pesan atau komentar yang membangun untuk penulisan/karya yang lebih baik. Terima kasih.